5. Rahasia

297 78 5
                                    

"Daisy, ini keren banget," kata Rebecca sambil menutup lembar terakhir naskah drama setebal dua puluh lima halaman yang kuketik ketika aku kembali ke bangku. Dia adalah orang pertama yang membaca, setelah Bu Ria yang memeriksa hasil naskah pagi ini dan meninggalkan coretan seperti beberapa format yang salah serta saran atas detail adegan tertentu. Rebecca memandang jilidan tipis di genggamannya dengan terpana, lalu segera berbalik pada Jackson dan William yang duduk di belakang kami.

"Coba kalian baca naskah drama kita. Keren banget," seru Rebecca, membuat pipiku merona karena bangga. Aku tidak yakin kalau tulisanku sekeren itu, tapi setelah mendengar pengakuan Bu Ria dan Rebecca barusan, aku jadi mempertimbangkan Sastra sebagai jurusan kuliah.

"Nanti, deh," kata Jackson, lalu sibuk berkomat-kamit dengan tatapan menerawang. Saat ini sedang pelajaran Bahasa Mandarin. Seperti biasa, Lao Shi Lin yang paruh baya meminta kami menghapal sebuah cerita pendek di buku dan mempresentasikannya di depan kelas. Sesuatu yang kami benci, kecuali William, karena hanya dia satu-satunya yang dianugerahi ingatan kuat serta bisa melafalkan kalimat Mandarin dengan nada tepat. Jackson, walaupun logat Mandarin-nya sekental orang Singapur, rupanya tidak berbakat mengingat alur cerita sehingga seringkali dia mengarang.

Setidaknya, hal terbaik dari kelas ini adalah, tidak ada satu pun yang akan memerhatikanmu di depan, karena selain mereka akan sibuk mempersiapkan diri, mendengar cerita sama yang disampaikan berulang kali benar-benar membosankan.

"Coba lihat." William mengambil naskah dari tangan Rebecca, lalu mengamati judul dengan ekspresi tertarik. "A twisted version. The dark one or ...?"

"Not really," balasku. "Tidak ada yang berdarah-darah."

"Daisy, dark itu tidak harus selalu berdarah-darah," kata William.

"Tidak mengerti, deh. Baca saja." Aku mengangkat bahu.

"Sstt!" desis Jackson. Dia memejamkan mata, mengulang kalimat yang sama berkali-kali sambil berusaha mengingat. "Tu ran xiao zhu shuo ... tu ran xiao zhu shuo ... ugh! Ni qu si ba."

Aku dan Rebecca bertukar pandang sambil mengernyit, tidak mengerti apa yang dikatakan Jackson. Menilai dari ekspresi geli William, aku yakin itu bukan arti yang bagus.

"Kau sudah menghapalnya?" tanyaku pada Rebecca ketika kami memutar tubuh kembali ke depan. Cewek itu terlihat santai, padahal kemampuan Mandarinnya di bawahku (sesuatu yang diam-diam dan secara memalukan kubanggakan, karena setidaknya aku sedikit mengunggulinya dalam satu hal).

"Namaku tidak akan dipanggil hari ini," jawabnya kalem. Mendadak aku bisa melihatnya. Ketenangan di mata Rebecca, senyum tipis yang seakan mengatakan segalanya akan baik-baik saja ... semua itu mengingatkanku pada seseorang.

"Ada apa? Bukannya kau sudah selesai ya?" tanya Rebecca saat melihatku menghembuskan napas dengan keras.

"Yeah, maksudku ...." Aku menggaruk bawah telinga. "Bagaimana keadaan lehermu?" tanyaku mengalihkan topik, padahal jawabannya dapat kulihat dengan jelas. Hantu itu tidak kembali lagi. Tentu saja Rebecca akhirnya mendapat kembali tidur nyenyaknya tanpa gangguan yang tidak diinginkan. Taruhan, jauh lebih nyenyak ketimbang malamku setelah kemunculan Anthony.

Bukannya Anthony menggangguku lagi seperti dulu (apa aku pernah menyebut hantu kamarku yang pernah merasuki William selama seminggu? Dia tersangkanya. Cepat tangkap). Terakhir kali aku berinteraksi dengannya adalah ketika dia masih merasuki William dan bergulat dengan makhluk-makhluk hitam di atap, kemudian tiba-tiba dia sudah meninggalkan tubuh itu dan aku tidak pernah melihat tanda-tanda kehadirannya. Kuasumsi Anthony pergi bersama Jordan. Entah ke mana. Apalagi Anthony sempat mengancam kalau dia akan menarik Jordan pergi bersamanya, secara sukarela maupun paksaan.

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang