29. Bayangan

139 63 1
                                    

"Daisy, kau belum sempat makan malam." Mama mengingatkan saat aku berkata padanya kalau akan keluar sampai entah jam berapa.

"Aku akan makan di luar," kataku cepat sambil mengambil tas dari gantungan dinding dan memasukkan beberapa barang penting—tabung tali, ponsel, sejumlah uang, dan kartu pelajar (jangan tanya kenapa). Aku sudah mengganti celana rumah pendekku dengan jins biru, hal paling pertama yang bisa kuraih dari lemari, dan kurasa tidak sempat lagi memikirkan apakah kaus biru muda polos ini terlihat keren di luar.

"Bersama Charles?" tanya Mama hati-hati. "Daisy, maaf karena Mama merasa kita harus membicarakan ini. Mama tahu kau punya selera pada pria yang agak lebih tua—"

"Ma," potongku, merasa luar biasa tidak nyaman. "Charles itu pacar Rebecca. Atau mantan. Entahlah. Dan alasan dia kemari karena mereka sedang bertengkar atau semacamnya."

"Oh, jadi kalian punya selera pada—"

"Dengar, dengar." Aku jadi merasa tidak enak karena harus memotong Mama dua kali. "Boleh nggak kita bicara soal ini nanti? Aku buru-buru banget."

"Buru-buru bertemu Rylan?"

"Ma," rengekku.

Mama menunjuk layar ponselku. Tersadar, aku segera mengangkat telepon dari Rylan dan menjelaskan seadanya soal apa yang kuketik di WhatsApp tadi. Aku tidak bisa menyebut Rebecca berada dalam bahaya di depan Mama, tapi intinya aku mendesak Rylan untuk segera datang karena kami harus segera menyusul Rebecca.

Anthony kusuruh mencari Katrine dan Ellen untuk menyampaikan soal itu, kemudian menemani Rebecca untuk memastikan dia baik-baik saja. Sudah lima menit berlalu sejak Anthony pergi, dan absennya kabar dari hantu itu membuatku tidak bisa tenang. Aku mulai berpikir seharusnya para hantu juga dibekali semacam ponsel atau apa supaya bisa ditelepon kapan saja.

"Oh, jadi kalian punya misi untuk menghubungkan kembali Rebecca dan Charles." Mama menyimpulkan setelah mendengar percakapanku dengan Rylan.

"Benar," jawabku. Apa lagi? 'Bukan, Ma, tapi Rebecca dan Charles diteror hantu dan hanya aku dan Rylan yang bisa membantu mereka. Plus Ellen dan keluarganya. Jadi paham kan, kami sedang dalam misi penyelamatan heroik.'

"Apa kalian tidak agak sedikit terlalu serius?" Mama mengikutiku yang berjalan ke luar kamar hingga ke teras rumah. "Pertengkaran dalam hubungan itu wajar, dan lagipula kalian masih SMA."

Aku menatap Mama sejenak, ingin menangis karena tidak bisa memberitahukan hal yang sebenarnya. Kutundukkan kepalaku untuk menyembunyikan raut bersalah yang mungkin akan dibacanya, lalu berpura-pura fokus mengikat tali sepatu. "Rebecca sedang luar biasa sedih, Ma. Dia butuh bantuanku."

Syukurlah, saat aku sudah berdiri tegak, mobil Rylan sudah tiba di depan rumah. Dia membuka jendela dan mengklakson, mengangguk singkat pada Mama tanpa senyum. Tidak sopan.

"Omong-omong," panggil Mama sebelum aku pergi, "siapa tahu jika kau tidak nyaman dengan kamarmu, kau bisa beritahu Mama. Mungkin ventilasi yang kurang atau apa, karena hawanya selalu tidak enak."

"Aku baik-baik saja," kataku sambil tersenyum menenangkan.

Mama masih menatapku dengan khawatir. "Hati-hati, Daisy."

Mungkin benar bahwa insting seorang ibu itu kuat, karena ternyata aku benar-benar butuh nasihat itu.

***

"Pak Charles belum datang. Silakan mendaftar untuk mendapat nomor antrian," kata si resepsionis wanita bertubuh kecil untuk ke sekian kalinya.

"Aku tidak butuh konsultasi. Kami hanya ingin ke ruangannya untuk mencari seorang teman," balasku frustrasi.

"Maaf, Bu, selain dokter atau staff rumah sakit, kami tidak boleh memberi akses ke ruang praktek di luar jam konsultasi."

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang