22. Datang Tak Diundang, Pergi Tak Diantar

152 62 3
                                    

Aku bersyukur karena punya gaun hitam lengan panjang dengan renda marun ini. Tidak hanya karena ini gaun paling nyaman yang memenuhi kriteria untuk dipakai ke pesta Bertha-kuharap, karena kode busananya adalah 'hitam misterius'-tapi aku terlihat seperti mata-mata Paranormal keren yang siap menangkap buronan hantu.

"Kau mau ke pesta Halloween ya?" tanya Lily sambil mengintip dari balik pintu kamarku yang sedikit terbuka.

"Sweet seventeen. Tidak pernah dengar kan?" kataku meremehkan. Aku berjalan ke luar kamar, menatap cermin lonjong di dinding dekat pintu, lalu mengikat setengah rambutku. Mama membeli cermin berbingkai kayu cantik ini untuk dipasang di kamarku, tapi mempertimbangkan keamanan jantungku jika aku terbangun tengah malam, aku menolak mentah-mentah sehingga Papa meletakkannya di luar dekat kamarku.

Kuberi tahu satu rahasia: para hantu menyukai cermin.

"Sori, walaupun aku masih tiga belas tapi aku tahu acara perayaan ulang tahun spesial anak remaja hanya karena mereka akan punya KTP dan legal dalam perkara hukum." Lily mengangkat bahu. "Salah satu pacarmu sudah jemput."

Aku memutar bola mata sambil mengoleskan pelembab bibir rasa cherry. "Bagus, sekarang kau sebut Ellen pacarku."

"Cowok."

Lily benar. Lima belas menit kemudian aku sibuk di telepon, berdebat dengan Ellen yang tidak jadi pergi karena dia tidak tahu harus memakai apa sehingga dia mengirim Jeremy sebagai gantinya. Kubilang aku punya sejumlah gaun, atau dia bisa memakai punya Lily karena ukuran tubuh mereka lebih mirip. Ellen tetap menolak dan telepon berakhir dengan dia yang berjanji akan menyusul jika dibutuhkan.

Bukan itu masalahnya. Tidak ada yang lebih aneh dari seorang gadis SMA ke pesta teman sekolahnya dengan anak cowok SMP yang bahkan bukan saudaranya. Segalanya jadi semakin canggung karena Papa yang mengantar kami, tanpa menyadari kehadiran Katrine yang bersandar santai di samping Jeremy, mengajukan beberapa pertanyaan selama perjalanan. Kenapa Ellen tidak jadi ikut? Kenapa jadi Jeremy yang ikut?

Karena, kau tahu, itu sangat anehhhhh.

Apalagi kami tidak diundang. Aku menggunakan kartu undangan William yang tidak terpakai, lalu ada kartu undangan milik Benjamin yang diberikan Jackson-entah bagaimana cara dia mendapatkannya, aku tidak ingin tahu. Untunglah Jeremy sama tinggi denganku, jadi tidak ada yang berpikir kalau dia bocah SMP. Kerabat keluarga Bertha yang menjaga pintu masuk sama sekali tidak curiga dengan undangan kami, menyuruh kami mengisi buku tamu, lalu memberi souvenir berupa gantungan kunci perak berbentuk kupu-kupu.

"Apa?" tanyaku bingung saat seorang gadis pembagi souvenir yang wajahnya familier menatapku terlalu lama.

Dia tersenyum sinis sambil menunjuk sudut khusus di belakangnya di mana tersusun tumpukan hadiah berbagai ukuran dan bentuk.

Aduh, aku benar-benar melupakan bagian itu. Satu-satunya benda yang kubawa adalah tas selempang kecil berisi ponsel, sejumlah uang, dan lipbalm. Walaupun aku sempat tergoda untuk memberi lipbalm bekas ke Bertha, tapi akhirnya terbersit sebuah ide di benakku.

"Oh," kataku sambil tertawa gugup. "Sebenarnya kami patungan menyiapkan kado. Ada beberapa orang. Kau tahu, soalnya hadiahnya terlalu besar dan mahal. Temanku yang akan membawanya. Namanya Jackson Lee, catat." Sambil melambai kecil, aku buru-buru mendorong Jeremy ke dalam sebelum gadis itu sempat merespon.

Menyewa ballroom hotel yang cukup mewah, Bertha tidak setengah-setengah merayakan hari spesialnya. Aku menengadah sambil terpana saat melewati lorong dengan tali lampu panjang yang menggantung di atap. Ada pilar-pilar raksasa yang dikelilingi sulur perak mengkilap seperti tanaman yang membeku di bawah salju, serasi dengan kursi kristal dan taplak meja satin yang disusun di seluruh ruangan. Dekorasi panggung tidak kalah heboh, dengan tulisan 'Robertha Cindy's sweet seventeen' yang dirangkai oleh bunga kristal cantik berbentuk lingkaran, dikelilingi balon perak dan hitam yang elegan. Ada singgasana mewah di pinggir panggung, diduduki dengan penuh gaya oleh sang tuan rumah, dan meja bulat berisi kue tiga tingkat bertema putih dan biru muda.

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang