6. Tenggat Waktu

272 78 0
                                    

Peraturan pertama ketika kau di toilet sendiri dan tiba-tiba pintu tertutup: jangan menoleh ke cermin.

Insting Paranormal—aneh sekali menyebut istilah itu, karena aku masih belum merasa seperti salah satu bagiannya—membuatku menatap pantulan di belakang. Seharusnya aku tahu akan ada sosok di sana, tapi tetap saja aku berjengit. Seorang gadis berambut sebahu dengan ujung pirang terang menyandarkan bawah punggungnya ke pinggiran wastafel sambil melipat lengan. Sebelah kakinya tertekuk, hanya ujung sepatunya yang menyentuh lantai di seberang kakinya yang lain sehingga membentuk silang. Mata kucingnya menatapku penuh permusuhan.

Tarik napas dalam-dalam ... hembuskan.

Ini bukan pertama kalinya ada cewek yang memberimu wajah seperti itu, Daisy. Bertha, Helga, dan Ismelda, geng dangkal yang membencimu, melakukan ini sepanjang hari dan kau baik-baik saja.

Tapi yang satu ini bisa meremas ususmu jika dia mau, kata suara lain di kepalaku.

Diam, Daisy Pesimis, balas Daisy Optimis.

"Apa lagi?" tanyaku, berusaha terlihat bosan. Aku ikut bersandar di wastafel sebelah.

"Kita belum selesai ...." Dia melihat nama di seragamku. "Daisy Wu."

"Kita bahkan tidak pernah memulai," balasku, mau tidak mau menyadari percakapan kami cukup ambigu.

"Aku Mila."

Yeah, akhirnya permulaan bagus. Perkenalan. "Jadi kenapa kau mengganggu temanku, Mila?"

Mila mengangkat kedua alis hitamnya yang tipis. "Jaga sopanmu, bocah, aku jauh lebih tua darimu."

"Yang Mulia Paduka Ratu Abadi Mila," ulangku, "kenapa gerangan Anda mengusik sahabatku yang baik hati dan tidak sombong itu?"

Tampaknya kesabaran Mila hampir hilang. Setelah mengambil selangkah maju dan tertahan oleh benang perak di ujung capitan jariku yang kubentangkan di antara kami, akhirnya  dia memutar bola mata dengan sikap merendahkan dan kembali ke tempat. Mila mengingatkanku pada kakak MOS menyebalkan, tipe cewek kaya manja yang tahu bagaimana caranya tampil keren dan menghina orang. Dengan kaus bermerek ketat yang memamerkan dua inchi perut, celana jins sobek-sobek, kuku panjang tajam yang dihias cantik serta riasan tipis segar di wajah, Mila jelas merupakan gadis sosialita, dan aku tidak akan heran kalau dia populer di kampus—jika dia kuliah.

"Aku bukannya takut sama benda itu," dengusnya. "Nggak usah sombong, tapi itu hanya memberi efek seperti kejutan listrik dadakan yang pernah kau rasakan di charger ponsel. Sebenarnya aku tidak ingin bertengkar denganmu."

Aku menunggu Mila untuk melanjutkan, tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin melontarkan kalimat baru yang informatif. "Jadi?"

"Aku tahu kau teman baiknya Rebecca. Kau tentu tidak ingin aku menyakitinya." Mila tersenyum lebar dengan ekspresi yang malah terlihat menyeramkan. "Sahabat yang baik. Sangat manis. Seandainya aku juga punya teman yang membelaku seperti itu. Hah ... tapi kurasa aku harus cukup puas dengan seorang kekasih yang memahamiku kan?"

"Pacarku memang cowok yang perasa dan baik banget, jadi nggak jarang cewek-cewek salah paham padanya, termasuk temanmu itu. Aku belum pernah mencintai seorang pria sebesar itu, sehingga aku merasa akan melakukan apa pun—apa pun—untuknya. Menggunakan koneksi ayahku sehingga dia mendapat beasiswa dengan mudah, membelikannya sebuah sepeda motor, mengajaknya berlibur ke negeri impiannya. Aku kuliah di luar negeri, karena aku mengambil desain dan, kau tahu, nggak banget deh jurusan desain di sini. Selama ini aku menyempatkan diri menemuinya. Dia tidak akan sanggup menanggung lebih dari dua tiket pesawat Jakarta-Batam dalam dua tahun, apalagi ke Singapur. Aku ke sana maksimal setengah tahun sekali. Aku berjuang untuknya. Untuk kami. Lalu mati karenanya. Romantis bukan, mati dalam perjalanan menuju tempat kekasih?"

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang