Prolog

708 144 1
                                    

Tempat ini benar-benar dramatis.

Jalanan sepi di malam hari mungkin sudah biasa di film-film horor. Tapi ini bukan sekedar jalan sempit biasa. Ada beberapa pohon beringin yang tumbuh di kiri-kananku, kemudian membentang padang rumput yang luas dan kosong. Jalan ini begitu lurus, panjang, dan seperti tidak berujung.

Tidak perlu kutambahkan kalau langit sedang mendung saat itu.

Aku berjalan, tidak tahu dari mana asal dan tujuanku, apalagi alasan kenapa tiba-tiba sudah terdampar di sini. Tidak ada siapa pun yang terlihat, dan aku langsung menyadari satu hal.

Tempat ini tidak nyata.

Pengalaman beberapa bulan akhir-akhir ini membuatku terbiasa melihat keramaian di tempat tersepi sekali pun. Fakta unik: tidak pernah ada tempat yang sepi bagiku. Jadi, ketika aku tidak menemukan satu makhluk pun di sini, aku langsung tahu ini terlalu bagus untuk menjadi nyata, dan di antara semua tempat menyenangkan yang bisa dipilih otakku, jalanan suram ini yang kukunjungi.

Aku masih berjalan, tidak yakin apa yang akan kutemui nanti. Sambil memejamkan mata, aku membayangkan Narnia, berharap tempat itu bisa muncul di sekitarku, tapi tidak ada yang terjadi saat aku mengerjap. Oke, ini memang jarang terjadi, dan aku masih belum menguasai cara berteleportasi ke tempat bagus. Kucoba cara lain, yaitu dengan membayangkan sosok yang kuharapkan bisa muncul di sini.

Jordan.

Dia tidak muncul. Aku masih sendiri.

Jordan.

Sekarang aku merasakan kehadiran sosok lain, tapi tidak ada siapa pun yang menampakkan diri.

Ayolah, Jordan, kenapa susah sekali memanggilmu bahkan di alam bawah sadar?

Makhluk itu semakin mendekat, dan aku seratus persen yakin itu bukan sosok yang kupikirkan.

Aku tersentak saat merasakan bahuku ditepuk dari belakang. Mencoba mengatur napas, aku menoleh dengan mata terpejam, berharap ini bukan jump scare.

Itu Rebecca, pintaku spontan, dia hanya beramah-tamah.

Senyuman Rebecca benar-benar menyambutku ketika kubuka kelopak mata.

"Ayo, Dais, nanti kita terlambat," ajak Rebecca sambil menggandeng tanganku.

"Ke mana?"

"Pesta," jawabnya santai.

Benar saja, Rebecca terlihat cantik memakai gaun merah muda semata kaki dengan bahu terbuka. Sambil tergesa melangkah di sampingnya, kusadari bahwa tiba-tiba aku juga memakai gaunku yang berwarna hitam dengan payet di ujungnya.

Kami tiba di sebuah rumah besar. Anehnya, sepertinya ini satu-satunya bangunan yang terlihat di sini. Di film horor, biasanya ini rumah tua yang kosong, lalu akan ada sekelompok anak kurang kerjaan yang masuk dan memanggil, 'Halo? Apa ada orang di sini?' Kemudian semua anak itu mati bergilir dengan mengenaskan.

Tapi di dalam bangunan ini cukup banyak orang—maksudku, semuanya orang asli. Aku tidak tahu ini pesta apa, tapi semua orang sedang menikmati sesuatu di tengah ruangan, di mana ada sepasang manusia yang tengah berdialog dengan pakaian ekstrim abad pertengahan, lalu—

Sebentar. Yang memerankan tokoh perempuan di tengah ruangan itu Rebecca.

Aku menoleh ke samping untuk mencari Rebecca yang seharusnya berdiri di sisiku, tapi dia sudah tidak ada.

Frustrasi karena semua ini membingungkan, aku menerobos kerumunan, lalu memanggil nama Rebecca yang tidak menghiraukanku. Suaraku entah bagaimana teredam, dan langkahku terasa berat. Orang-orang tampaknya sengaja menghalangi jalanku. Dengan sekuat tenaga dan batin, aku berhasil mencapai barisan terdepan, lalu memandang Rebecca yang memerankan Juliet. Dia tengah menangisi Romeo yang mati di sebelahnya.

"Rebecca!" teriakku, tapi tidak ada suara yang keluar.

Dia mengambil pisau Romeo. Aku tahu ini hanya pentas drama, tapi rasa panik mendadak yang tidak bisa dijelaskan menguasaiku hingga lututku hampir lemas.

"Rebecca!" teriakku lebih keras. Rasanya seperti bersuara di dalam air.

"Lakukanlah!" teriak para penonton tidak sabar.

"Tidak!" Suaraku masih tidak terdengar. Sial, kenapa aku bahkan tidak bisa mengendalikan diri sendiri?

Lalu, bersama seruan keras orang-orang di sekeliling kami, Rebecca menusukkan belati perak ke dadanya dan jatuh tak sadarkan diri.

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang