15. Pengakuan Daisy

169 75 12
                                    

Jackson sudah memprediksi kalau aku akan diskors, jadi kami bertiga (aku, Jackson, dan William) akan menjadi orang pertama yang mencetak rekor skors di kelas kami. Aku juga akan meninggalkan jejak di Buku Poin Siswa, buku kecil yang dimiliki masing-masing murid dan biasa diisi pada guru setiap kali kami melakukan prestasi atau pelanggaran—kurasa lebih difokuskan ke hal negatifnya—dan ditunjukkan pada para orangtua saat pengambilan rapor. Kalau kau tanya aku, ini bukan kekompakan antar sohib yang patut dibanggakan.

Kabar baiknya, aku tidak diskors. Kabar buruknya, tapi tidak seburuk diskors, aku dan Bertha dipanggil ke kantor guru saat jam istirahat pertama, kemudian kami menghadapi sesi konseling dadakan bersama wali kelas dan guru BK. Bertha tidak banyak bicara, masih terlihat agak linglung, tapi dia menyetujui saran Bu Shinta, guru BK kami, untuk saling memaafkan walau dia nyaris meremukkan tulang jariku saat bersalaman. Buku Poin Siswa-ku tetap digores. Coba tebak, sudah tidak ada poin prestasi, sekarang aku dapat poin minus sepuluh karena bersikap agresif dan emosional di lapangan. Sementara Buku Poin Siswa Bertha dibiarkan kosong karena para guru memutuskan dialah sang korban.

Yang benar saja!

Hal itu membuat suasana hati Bertha membaik. Ketika kami bersama-sama keluar dari ruang guru, Bertha membisikkan sesuatu di telingaku.

Bukan ancaman kematian, tapi sesuatu seperti, "Kau satu-satunya orang yang nggak kuundang ke pesta."

Demi Tuhan, aku sangat kecewa. Bagaimana ini? Aku tidak bisa ke pesta ulang tahun Bertha yang ke-17!? Astaga, dunia ini kiamat. Aku tidak tahu apa arti hidupku lagi jika tidak diundang ke pestanya!

Sayangnya, sebelum sempat mengutarakan isi hatiku itu, Bertha sudah pergi menjauh.

Kuceritakan pada Rebecca di jam istitahat kedua, saat kami ke kantin SMP karena di sana ada menu burger baru yang vegan. Alih-alih menyudutkan Bertha seperti yang kuharapkan, Rebecca malah memberiku tatapan bersalah.

"Maaf kemarin aku lupa bilang. Bertha memberiku undangan," katanya saat kami berempat berjalan di koridor terbuka lantai satu menuju teras. Semua gedung dari TK sampai SMA St. Yohanes memiliki desain yang sama, mulai dari letak lapangan, posisi ruang kelas, kantor guru, hingga toilet-toilet. Jadi tidak ada istilah tersesat bagi murid-murid lama, terutama yang sudah mengenyam pendidikan di sini sejak baru belajar membaca sepertiku.

"Semuanya diundang sih," timpal Jackson di belakang kami, tidak banyak berguna. Dia melirik burger yang bungkusnya sedang kubuka lantaran tidak sabar harus menunggu sampai di kelas. "Eh, kau vegan ya?"

"Vegetarian," ralatku. "Dan kau baru sadar sekarang setelah melihatku makan selama ini?"

Jackson mengangkat bahu sambil mengunyah. "Siapatahu diet. Jadi ini pantanganmu selama jadi indigo?"

"Tolong jelaskan apa hubungan antara kepedulian terhadap nyawa makhluk hidup dengan keterlibatan pada makhluk halus," kataku datar.

"Persamaannya, kau terlalu peduli pada hal yang tidak terlalu ilmiah," komentar William. "Belum terbukti jika hewan bisa merasakan sakit yang sama dengan manusia. Bahkan aku tidak yakin kalau ikan tahu dia sedang dipotong."

"Hewan punya perasaan," bantahku. "Kau tidak pernah melihat Golden Retriever?"

"Kita tidak makan anjing. Apalagi Golden Retriever," balas William kalem.

"Bukankah agak diskriminasi jika kita membiarkan ayam disembelih hanya karena dia adalah ... ayam?"

"Karena ayam itu sedap. Kalau tidak sedap tidak akan digoreng," timpal Jackson.

"Oh, pernahkah kau mendengar komentar salah satu kelompok tentang daging anjing?" tantangku.

"Eh, kenapa jadi membahas ini? Mari kita sudahi," sela Rebecca sambil tertawa gugup.

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang