Hal baiknya: Rebecca tidak sedang berada dalam keadaan di mana dia akan berpindah dunia dan menemuiku dalam bentuk lain suatu hari nanti.
Hal tidak baiknya: Rebecca hanya menangis.
Benar kata Anthony. Gawat.
Aku tidak membayangkan hal gawatnya ketika bangkit dari kursi dan setengah berlari di sepanjang lorong, berpikir untung saja aku tidak sedang mengenakan gaun putih panjang atau mereka akan mengira sedang melihat adegan dramatis sang pengantin yang kabur. Hal kedua yang kusyukuri adalah pilihan sepatu datarku sehingga aku tidak kesulitan melangkahkan kaki lebar-lebar di jalan bebatuan lapangan parkir. Kemudian ketika bertemu Jackson yang duduk tidak jauh di dekat mobil Rebecca dan mengangkat bahu pasrah, barulah aku berhenti dan sadar bahwa aku tidak punya rencana apa pun untuk menghadapi gadis yang menangis.
"Kau ini kan cewek, seharusnya kau lebih tahu," kata Jackson saat aku bertanya apa yang harus kulakukan. Dia terlihat sama paniknya denganku sehingga lupa menanyakan bagaimana aku bisa menemukan mereka.
Akhirnya Jackson menghela napas. "Aku sudah membujuknya, tapi Rebecca tidak mau membuka jendela. Telepon tidak diangkat."
Dengan jantung berdebar, kuberanikan diri mendekati mobil Rebecca dan mengetuk kaca jendelanya. "Bec, ini aku."
"Ya, dia kan bisa lihat sendiri, bodoh," komentar Anthony di belakangku. Dia beruntung karena aku tidak sempat menendangnya.
Kaca film mobilnya gelap. Dari jarak sepuluh senti di luar jendela, aku bisa melihat samar-samar kepala yang menoleh padaku. Beberapa detik kemudian ujung jendela tersebut turun dan menampakkan wajah Rebecca yang ....
Mungkin kata 'kacau' adalah tepat. Rebecca memakai riasan yang kuyakini akan terlihat elegan jika tidak ada jejak hitam yang luntur di area bawah matanya. Noda lipstik merah muda mewarnai ujung bibirnya, bukan karena Rebecca tidak tahu cara memakai alat rias itu, tapi tekanan dan gesekan berulang pada mulutnya membuatnya berantakan. Apa yang dilakukan para gadis saat menangis? Membungkam mulut sendiri. Tampaknya Rebecca juga menjambak sebagian rambutnya, karena untuk pertama kali sepanjang sejarah, aku bisa melihat rambut Rebecca yang mencuat ke sana sini.
Ah, itu kondisi normal rambutku.
"Apa yang terjadi?" tanyaku dengan suara pelan.
Jawaban dari Rebecca hanya bunyi kunci yang dibuka. Selama beberapa saat aku menimbang apakah harus membukakan pintu mobilnya, tapi Rebecca tidak menunjukkan tanda-tanda ingin keluar. Setelah beberapa detik berkedip canggung, akhirnya aku memutari mobil dan menaiki kursi penumpang di sampingnya.
"Apa Bertha menipumu? Kau tidak diizinkan masuk?" tebakku.
"Charles," kata Rebecca dengan suara serak. "Beberapa hari yang lalu, saat kau menyuruhku jangan datang ke pesta, Charles juga melakukan hal yang sama."
"Pertama, dia bilang kalau aku tidak boleh mempercayaimu sepenuhnya karena kita tidak pernah bisa menemukan bukti kehadiran makhluk itu. Kalaupun ada, tidak ada yang bisa menjamin apakah ucapanmu benar."
"Yeah, kau sudah bilang."
"Maaf," kata Rebecca lemah. "Daisy, aku bukannya meragukanmu. Tapi kata-kata Charles membuatku berpikir ... sampai tiba-tiba dia juga bilang aku tidak perlu ke pesta Bertha."
"Charles juga melarangmu?" ulangku terkejut.
"Aku mengira kau menyuruh Charles-dengar." Rebecca menahan tanganku saat aku hendak membantah. Setelah yakin aku tidak akan mengeluarkan sepatah kata, dia melanjutkan, "Tapi tentu saja aneh, karena sebelumnya Charles tidak kelihatan ada di pihakmu."
Suara Rebecca terdengar bergetar. "Aku tidak tahu, Daisy. Selama ini Charles tidak pernah menyembunyikan apa pun. Tapi sejak kami jadian ...."
"Sejak Mila," ralatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TROUBLED
Paranormal[Paranormal-Teenfic-Horror Fantasi-Romance-Comedy] Menjadi remaja SMA yang bisa melihat hantu tidak semudah yang dibayangkan Daisy. Apalagi tiba-tiba ada hantu yang mengincar Rebecca, sahabatnya. Seakan mengusir makhluk gentayangan saja belum cukup...