"Ayolah, Daisy." Dave memukulku dengan raket badmintonnya. Sejak pulang sekolah-tepatnya, satu jam dari waktu pulang sekolah yang seharusnya-aku tiba di rumah dan menemukan sepupuku yang memakai kaus dan celana jersey di sofa ruang tamu. Menyadari tas raket dan tabung kok di sebelah anak itu, aku sudah tahu apa yang ia inginkan. Dave sudah merencanakan ini sejak tahu ada GOR yang dibangun di dekat rumahku.
Tapi, tidak seperti Dave, semangat olahragaku tidak setinggi itu. Bisa dibilang Olahraga adalah pelajaran yang paling tidak kusukai, karena aku selalu mendapat urutan paling akhir di lomba lari dan tidak pernah menembak bola basket ke dalam ring. Jadi aku pura-pura tidak melihat Dave, segera berlari ke kamar dan berganti pakaian sampai dia akhirnya mengetuk pintu kamar dengan wajah masam karena aku tidak kunjung keluar.
"Sebentar saja," rengeknya lagi. Kali ini Dave menyodok ujung pegangan raket ke perutku.
Sebenarnya aku tidak keberatan mencoba bulu tangkis, seandainya suasana hatiku mendukung. Tidak sekarang. Tidak hari ini. Saat ini, satu-satunya hal yang ingin kulakukan hanya berbaring di tempat tidur sambil membenamkan wajah di bawah buku cetak Fisika yang terbalik dan berharap seluruh materi ulangan besok bisa terserap secara ajaib ke otakku.
"Besok aku ulangan Fisika, Dave," gerutuku. Aku mengerucutkan bibir saat Dave mengangkat buku dari wajahku dan meletakkannya ke meja.
"Seolah kau pernah belajar saja."
"Aku selalu belajar!" belaku.
"Tapi nilaimu pas-pasan."
Kurang ajar.
"Ajak Lily saja sana."
Giliran Dave yang menggerutu. Di antara kami bertiga, hanya aku yang paling dekat dengannya. Dave dan Lily jarang terlihat saling berbicara walau usia mereka hanya terpaut dua tahun. Setelah dipikir-pikir, aku bahkan lebih dekat dengan Dave ketimbang Lily. Lily tidak pernah bercanda. Jika iya, tidak ada yang pernah memahaminya. Adikku itu seolah hidup di dunianya sendiri.
"Atau Rose deh," saranku lagi.
"Kau mau aku bawa anak TK bermain badminton? Aku akan disangka ayahnya," kata Dave dengan wajah ngeri.
"Tidak seekstrim itu kok. Jangan menipu diri sendiri, kau bahkan tidak bisa menumbuhkan kumis." Aku menegakkan punggung, lalu bergerak ke meja belajar dan membuka kembali buku cetak Fisika. "Ke mana teman-temanmu? Si Jimmy, Joshua, Jason, atau semua yang berawalan 'J'."
"Mereka anak basket. Dan segala permainan bola besar. Ayolah, Daisy, kapan lagi kau bermain bersama sepupumu?"
Sambil bersandar lemas, aku memutar kursi menghadap Dave yang kini duduk di ujung tempat tidur. Raketnya ia tegakkan di lantai.
"Rylan menemuiku tadi."
Kalimat itu berhasil membuat Dave melupakan raket dan badmintonnya. Kedua mata coklat gelapnya melebar saat dia bergeser mendekatiku dengan ekspresi penasaran bercampur was-was. Hanya Dave yang tahu soal perasaanku, hanya saja dia mengira orang yang kusukai benar-benar Rylan.
Oke, Mama juga tahu.
Dan Anthony.
Rebecca juga.
Sialan, semua orang di dunia saja sekalian.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Dave. Mendadak dia meninggikan nadanya. "Tunggu, Uncle Rylan ingat padamu? Hanya padamu seorang? Sementara dia melupakan semua orang kecuali Grandmére Joanne dan bersikap kita semua adalah musuhnya?"
"David!" panggilku tegas, kemudian tidak tahu harus berkata apa lagi.
Dave benar. Rylan mengingatku. Ketika entah bagaimana aku mengikutinya bagai kerbau yang dicucuk hidungnya ke sebuah warung makan di sekitar sekolah, Rylan tidak mengatakan apa pun sampai seorang pelayan datang dan menanyakan apa yang ingin kami pesan. Rylan memesan teh tawar, sementara aku dengan terbata menyebut air mineral.
KAMU SEDANG MEMBACA
TROUBLED
Paranormal[Paranormal-Teenfic-Horror Fantasi-Romance-Comedy] Menjadi remaja SMA yang bisa melihat hantu tidak semudah yang dibayangkan Daisy. Apalagi tiba-tiba ada hantu yang mengincar Rebecca, sahabatnya. Seakan mengusir makhluk gentayangan saja belum cukup...