7. Rencana

235 75 2
                                    

"Akan kubunuh kau, Paris!" Seruan Jackson membahana di koridor lebar terbuka lantai satu tempat kami latihan drama. Dia terlalu menikmati adegan duel Romeo-Paris. Dengan kertas fotokopian naskah yang diapit di bawah lengan, Jackson mengibas-ngibaskan penggaris plastik tiga puluh senti meter pada Rio, lawan mainnya yang berperan sebagai Paris, yang menangkis serangan main-mainnya sambil tertawa.

"Cut, cut!" seru Fei, sang sutradara, sambil menepuk tangannya. "Seharusnya dialog itu punya Paris. Romeo itu nggak agresif."

Melihat Jackson dan Ricky yang tidak mengubris kami dan tetap bertingkah seperti anak TK, aku memutar bola mata. Kusandarkan tubuh ke dinding, diam-diam melirik kelompok sebelah yang membaca dialog dengan tertib sambil duduk dalam lingkaran besar. Sesekali mereka tertawa, tapi setidaknya tidak ada dua orang gila yang asyik bermain pedang-pedangan.

Ini adalah percobaan ketiga kami memerankan drama, dan Jackson selalu menjadi orang yang mengacau.

"Tolong, Daisy, aku mengajukan pergantian pemeran untuk Romeo," pinta Fei pasrah.

"Oke, oke, aku serius." Jackson berdeham, lalu memasang wajah serius sambil mengacungkan ujung penggaris pada Rio. "Selama aku masih hidup, aku tidak akan melepaskan Juliet."

Di depannya, Rio pura-pura berdecak meremehkan, lalu membanting penggaris Jackson dengan sekali kibasan tangan kosong.

"So extra," komentar Fei. "Itu pisau, Rio. Ingat."

"Eh, Romeo tidak pegang pisau." Aku mengingatkan.

"Oh ya?" Fei menatapku terkejut sebelum membaca naskah di tangannya lagi, kemudian mengerang. Sambil mendesah, cewek berambut pendek itu meminta Jackson dan Rio mengulang adegan.

"Sepertinya kita akan menghabiskan sisa satu jam pelajaran untuk Romeo dan Paris," bisik Rebecca yang kini berdiri di sampingku.

Sisa anggota kelompok sedang berdiskusi dengan tim masing-masing. William, kuperhatikan, sedang menjelaskan dengan semangat pada Benjamin yang hanya balas memandangnya terbengong. Satu-satunya kandidat yang jago bermain musik di kelompok kami hanya William. Selebihnya nyaris amatir. Jadi, sebagai tim Tata Suara, William merencanakan musik digital yang diputar dari sound system dengan dipadukan oleh keyboard yang ia mainkan secara langsung.

"Ugh. Aku benar-benar harus mencari pemeran cadangan untuk Romeo," keluhku.

"Sebenarnya aku justru heran kenapa kau memilih Jackson jadi pemeran utama," kata Rebecca dengan sebelah alis terangkat.

"Jackson yang meminta." Aku mengangkat bahu. Ketika Rebecca hanya mengerjap, aku melanjutkan, "Tahu tidak kenapa? Karena kau Juliet-nya. Tapi siapa sangka Romeo yang bernasib tragis sendirian."

Rebecca hanya memandang Jackson sambil tersenyum tipis. Objek yang dipandang rupanya kelewat peka, juga gede-rasa, jadi Jackson balas tersenyum penuh arti.

Kasihan sekali.

"Bukannya ingin menguliahi," kataku sebelum berubah pikiran, "tapi kurasa dia harus tahu. Um, soal statusmu."

"Jackson tahu," jawab Rebecca kalem. "Nggak secara detail, tapi dia tahu aku sedang menyukai seseorang."

Ralat. Bodoh sekali.

"Oh. Soal masa lalumu juga?"

"Kalau itu hanya kau yang tahu, Dais."

Aku menerawang pada Jackson dan Rio yang sedang pura-pura bergulat. Seharusnya latihan pertama tidak seserius itu, tapi mereka benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bertha, pemain drama dari tim kelompok yang satunya, mendengus dengan ekspresi merendahkan ke arahku seakan berkata, 'Lihat kelompokmu, kacau banget.'

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang