Bisa dibilang aku tidak bisa tidur semalaman.
Oke, tidur nyenyak memang sebuah kemewahan untukku, tapi semalam benar-benar parah. Aku mencoba terjaga sepanjang malam—tidak butuh usaha keras untuk ini—dan pura-pura memejamkan mata sambil menunggu kehadiran sebuah sosok, tapi nihil. Sepertinya dia tahu kalau aku mulai curiga, dan cukup pintar untuk tidak muncul di hadapanku yang barangkali akan mencekiknya dan bertanya 'apa maumu?' dengan nada berkuasa.
Sebuah pemikiran mengerikan mengatakan kalau itu bisa saja hantu gadis di belakang Rebecca. Mungkin dia tahu tentangku dan merencanakan sesuatu, dan barangkali itulah kenapa dia menempel di punggung Rebecca, mencoba memanfaatkan teman dekatku untuk ....
Aku tidak tahu apa. Well, aku kan bukannya putri dewa atau sang terpilih yang akan mengancam keberadaan para hantu.
Karena itulah, keesokan harinya, aku meninggalkan William sendiri dan mengunjungi stand yang dijaga Rebecca, berpura-pura tertarik dengan apa yang ditawarkan brosur merah marun di meja dan tidak mendengarkan apa pun yang dijelaskan si perwakilan kampus di hadapanku. Sementara cowok kurus berkacamata yang memakai almamater merah marun sedang menjabarkan program beasiswa di tabel, aku menyipitkan mataku ke arah Rebecca yang sibuk mengarahkan para murid ke mana mereka harus pergi untuk menemukan stand universitas kuning, lalu merasa dongkol saat si hantu malah melambai.
"Aku tidak tahu mau masuk jurusan apa," kataku pada si mahasiswa saat dia sudah selesai.
Cowok itu mengerjap, terlihat setengah menyesal telah menghambur-hamburkan ludahnya dengan sia-sia. Dia mengeluarkan ponsel, dan kupikir dia akan melapor polisi sampai akhirnya tersenyum dan berkata, "Kebetulan, tim mahasiswa Psikologi kami membuat sebuah aplikasi yang bisa membaca minat dari nama, loh. Nah, apa namamu?"
"Daisy Wu."
Dia tersenyum dengan kernyitan di dahi. "Wu?"
Oh, jangan ini lagi.
"W, huruf ke-23 dalam alfabet, dan U, yang bentuknya seperti magnet." Aku mengisyaratkannya dengan jari. Beberapa orang mengatakan kulitku terlalu gelap untuk menyandang nama belakang itu. Memangnya apa yang bisa kulakukan jika tidak terlahir dengan kulit putih alami yang tidak mudah terbakar matahari seperti Lily?
Untunglah mahasiswa itu—Errick, kulihat tag namanya—tidak berkomentar lebih banyak lagi. Selagi dia mengetik di aplikasi dengan desain abu-abu yang membosankan, Rebecca melangkah ke belakang kursiku dengan pandangan tertarik.
"Daisy Wu," kata Errick sambil membaca tulisan di layar ponselnya, "adalah karakter yang menarik dan sedikit ambisius. Penyuka seni, terutama seni kontemporer. Jiwa ingin tahunya cocok untuk menjadi seorang jurnalis. Bidang yang disarankan adalah sastra dan literasi."
Aku mengernyit. Ambisius? Tolong deh, bisa masuk ranking dua puluh besar di kelas sudah membuatku menghembuskan napas lega. Dan sastra? Menulis naskah drama saja sudah membuat kepalaku berasap. Myer-Briggs Type Indicator saja tidak seratus persen akurat, dan sekarang mereka mencoba tes kepribadian berdasarkan nama. Maksudku, aku yakin ada banyak Daisy Wu di luar sana, dan kami semua jelas tidak mungkin berambisi untuk menjadi jurnalis.
Tapi alih-alih menjawab panjang lebar, aku hanya mangut-mangut.
"Aku tidak tahu kau ada aplikasi keren itu. Boleh coba punyaku? Rebecca Victoria Theodore," pinta Rebecca dengan semangat.
Errick menggumamkan sesuatu tentang namanya yang secantik orangnya, kemudian segera mengetik lagi. Ketika dia sibuk menanyakan cara mengeja nama Rebecca, aku mengambil kesempatan itu untuk melirik si gadis hantu yang masih menempel. Benang perak tergenggam erat di tangan kananku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TROUBLED
Paranormal[Paranormal-Teenfic-Horror Fantasi-Romance-Comedy] Menjadi remaja SMA yang bisa melihat hantu tidak semudah yang dibayangkan Daisy. Apalagi tiba-tiba ada hantu yang mengincar Rebecca, sahabatnya. Seakan mengusir makhluk gentayangan saja belum cukup...