28. Satu Jiwa Terbagi Dua

163 63 3
                                    

Kau tahu apa skenario yang sudah kusiapkan? Rebecca akan menangis histeris, menyalahkanku, kemudian kabur dengan dramatis dan menghilang. Kemudian kami akan sibuk mencari Rebecca di seluruh penjuru kota, dan ternyata dia terperangkap oleh sekumpulan makhluk hitam yang menyuruhnya untuk bunuh diri.

Yeah, aku tahu itu alur cerita dulu.

Kenyataannya ternyata juga tidak lebih baik dari itu. Benar, aku menarik Rebecca ke pojok yang agak sepi dan menceritakan segalanya dan mengabaikan Jackson terlihat berusaha menguping dari jarak satu meter. Segalanya keluar dengan lancar dari mulutku. Soal Rylan yang membantuku menghadapi hantu kamar. Soal interaksi kami hingga aku bisa jatuh cinta padanya. Soal aku yang baru mengetahui bahwa Rylan yang kukenal saat itu ternyata adalah Jordan. Tentang apa yang Jordan pikirkan terhadap hidup dan keluarganya, dan pesan Jordan supaya aku tidak memberitahukan hal itu pada Rebecca. 

Rebecca mendengarkan tanpa menyela sedikit pun. Seakan sudah diatur, bel pulang sekolah berbunyi tepat setelah aku selesai bercerita, sehingga kami terpaksa harus cepat-cepat membereskan tempat latihan dan kembali ke ruang kelas untuk doa pulang. Rebecca berjalan cepat ke luar kelas setelah itu, tanpa berpamitan dan tidak memberiku kesempatan untuk memanggilnya. 

Aku tidak mendapat kabarnya hingga sekarang, setelah beberapa pesan minta maaf serta panggilan tak terjawab. Tentu saja Rebecca tidak menghilang atau bunuh diri seperti imajinasi jelekku, karena saat kuminta Anthony untuk mengecek, katanya Rebecca hanya sedang tidur siang.

"Dia menghadapinya dengan tidur siang? Hebat juga," komentar Mila setelah mendengar laporan Anthony. Sejak serangan gila di gedung parkir kemarin, hantu itu sudah jauh lebih normal walaupun niat untuk mencekik Charles di tengah tidur masih ada. Karena Anthony dan Katrine sepakat kalau mereka masih harus mengawasi Mila, akhirnya hantu itu dipaksa ikut menongkrong di kamarku dan entah bagaimana jadi menikmati topik obrolan kami dan memaksaku bercerita dari awal layaknya remaja sekolahan yang penasaran.

Bayangkan jika semua orang di sini hidup dan bernapas, mungkin kami akan kelihatan seperti geng anak muda solid. Tapi jika Mama atau Lily mendobrak kamarku dan mendapatiku duduk bersila di atas tempat tidur sambil menghadap tiga makhluk tidak kasat mata yang bersantai di kursi dan lantai (kecuali Mila yang setengah berbaring di kasurku), aku akan segera dijadwalkan kunjungan ke psikiater.

"Maksudku, kalau aku jadi dia, aku akan mencekikmu dalam tidur karena bisa-bisanya menyukai kakak laki-lakiku yang sudah mati," tambah Mila sambil memperagakan adegan mencekik udara kosong.

"Yeah, Mila, karena hanya itu yang kau tahu. Mencekik orang dalam tidur," kata Anthony sambil memutar bola mata.

"Aku juga bisa mencekikmu sampai tertidur selamanya," ancam Mila.

"Cobalah, cobalah," ujar Anthony malas. 

Tidak perlu tunggu lebih dari sedetik hingga kedua tangan Mila sudah berada di lehernya. Anthony melawan dengan menampar-nampar pipi Mila, hingga keduanya bergulat di lantai kamarku dan menendang-nendang dinding dan pintu kamar. Katrine memutar bola mata, dari ekspresinya terlihat kalau pemandangan ini bukan pertama kali baginya.

"Hei, hormati tuan rumah kalian," tegurku. "Omong-omong bagaimana keadaan Charles?"

"Mana kutahu, aku tidak diizinkan mengunjunginya," kata Mila ketus setelah melepaskan diri dari Anthony.

"Karena kau hanya akan mencekiknya dalam ti--" Ucapan Anthony terpotong saat tenggorokannya kembali ditekan Mila.

"Sudah cukup," ucapku tidak sabar, kemudian merangkak untuk mengambil tabung kayu kurus dari laci meja belajar. Kuayunkan benda itu kuat, menikmati bunyi cambuk perak yang terjulur sepanjang satu meter ujung tabung, dan baru saja ingin melambaikannya ke arah Anthony dan Mila saat tiba-tiba Mama membuka pintu. Kedua hantu itu terdorong dan terjepit di balik pintu.

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang