2. Asia Tenggara

461 104 5
                                    

"Tidak banyak roh yang langsung pergi dari dunia ini setelah mereka meninggal." Ayah Ellen menjelaskan sambil menarik sebuah kursi plastik rendah dan duduk di hadapanku. Dia mengenakan kaus lama yang kelihatannya seolah memudar dari hitam menjadi biru gelap dan celana pendek longgar, jenis yang biasa akan dipakai para ayah di rumah saat menerima tamu.

Ruangan ini mungkin hanya setengahnya dari ruang tamu rumahku, padahal rumah Ellen tidak memiliki sekat untuk membatasi area meja makan dan kursi kayu panjang tempat tamu duduk. Walau sudah lewat satu bulan, ornamen-ornamen imlek masih terpasang, sehingga ke mana pun mata memandang, aku akan menemukan tempelan pernak pernik bergambar kuda dan gantungan lampion mini—serius, lampionnya ada di dalam ruangan, persis di bawah lampu. Ada lukisan dewa yang cukup besar di hadapanku, mendominasi setengah sisi dinding hingga aku hampir tidak menyadari bingkai berisi foto keluarga mereka yang kaku di sampingnya. Dengan kehadiran Ellen di sebelahku dan Katrine yang merosot malas di sebelahnya, Jeremy yang duduk di kursi meja makan seraya mengamati kami, serta Ibu Ellen yang ikut bergabung sambil berdiri di belakang suaminya dengan lengan terlipat, ruangan ini terlihat sangat penuh.

Aku jarang berkunjung ke rumah Ellen, walau ayahnya beberapa kali mengundangku. Tapi ketika itu terjadi, suasananya selalu begini, seakan kami sedang mengadakan rapat keluarga serius dan aku akan mendengarkan penjelasan panjang lebar dari ayahnya sambil mati-matian menahan kantuk.

Baik, aku mengerti dengan kekhawatirannya soal 'gadis-remaja-yang-baru-melihat-dan-tidak-tahu-bagaimana-cara-menghadapi-dunia'. Ayah Ellen telah berbaik hati memberi konseling—yang sebenarnya tidak benar-benar kubutuhkan—dan memberi tips serta daftar panjang mengenai apa yang harus dan tidak harus kulakukan pada para makhluk yang sudah meninggal tapi masih asyik jalan-jalan di sekitar kita. Secara keseluruhan, dan dia sudah mengulangnya berkali-kali, kira-kira begini sarannya:

Yang harus dilakukan: berbicara baik-baik.
Yang tidak boleh dilakukan: takut (karena ini akan memberi makhluk itu peluang untuk menguasai kita dengan leluasa).

Tentu saja, aku punya versi yang lebih bagus, yang tidak berani kuungkapkan keras-keras demi kesopanan:

Yang harus dilakukan: mengurusi diri sendiri.
Yang tidak boleh dilakukan: ikut campur.

Bukannya menyombong, tapi selama tiga bulan karir paranormalku, aku berhasil mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan ketimbang Ellen yang terus dicap orang aneh di sekolah karena kedapatan berbicara sendiri atau tersentak tiba-tiba—beberapa hantu tidak tahu tata krama. Ellen tidak pernah menyetujui caraku, karena menurut prinsip yang keluarga mereka anut, sudah jadi tugas umum paranormal untuk menolong hantu tersesat dan membasmi dunia dari roh jahat.

Sekarang, setelah melihat salah satu makhluk itu menempel di tubuh Rebecca, aku tahu kalau aku tidak bisa pura-pura tidak lihat dan mengabaikannya begitu saja.

Dan, sialnya, hantu itu bukan Casper si hantu ramah baik hati.

Aku masih ingat ketika siang tadi, kami berkumpul di ruang kelas yang sudah kosong. Semua perabot ditumpuk dan disusun sedemikian rupa ke dinding, sehingga menyisakan area luas yang kosong di tengah dengan beberapa meja dan kursi untuk pameran. Beberapa x banner masih dibiarkan di tempatnya karena acara masih berlanjut hingga besok, yang ternyata merupakan sebuah kesalahan besar ketika kulihat Jackson mengeluarkan pulpen dan menggoreskan kumis di wajah salah seorang model yang tersenyum lebar.

"Jackson ...," tegur Rebecca yang duduk di salah satu kursi. Dia menggerakkan leher sambil memijit, kentara sekali merasa tidak nyaman. Aku mencoba tidak melirik makhluk yang masih bergelantungan di belakangnya, yang mulai menjepitkan kaki ke kursi seakan sengaja ingin menambah beban.

"Tidak kelihatan kok," bela cowok berandal itu, lalu menyimpan pulpen sambil menyeringai mengagumi karyanya.

"Oke, kita mulai diskusi," kataku setelah menatap semua anggota yang hadir. Aku tidak tahu apa sudah lengkap, dan tidak mungkin kuabsen satu per satu lantaran jumlahnya dua puluh orang.

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang