20. Penghakiman

161 67 1
                                    

Aku seperti orang yang tertangkap basah.

Oke, bagi Ellen dan Jeremy yang ternyata menyusulku setelah mendapat petunjuk dari Anthony soal di mana aku berada, kelihatannya aku benar-benar kepergok akan melakukan dosa berat secara diam-diam, kemudian akhirnya diseret untuk diadili di bawah Yang Mulia. Seperti orang tak bersalah pada umumnya, aku memberontak sedikit, berseru, "Lepaskan aku! Aku tidak melakukan apa-apa!"

Aku bahkan tidak tahu cara memanggil hantu, apalagi yang benar-benar sudah menyeberang ke alam selanjutnya. Tapi kedua kakak adik itu tidak mau mendengar dan tetap memaksaku masuk ke pick up hang dikendarai Jeremy. Alih-alih membantu, para hantu di kuburan hanya menatap kepergian kami sambil tercengang, pasti jarang sekali mendapat tontonan adegan penculikan di sana.

Di kediaman keluarga Tenggara, Pak Asia sudah menunggu di kursi kayu tunggal yang besar, didampingi Katrine dan Anthony yang bersiaga di kedua sisinya. Ellen dan Jeremy mendorongku masuk terlebih dulu, dan aku hampir saja berlutut bagai tawanan yang dibawa ke hadapan sang raja, jika tidak segera tersadar kalau aku hanya berada di rumah keluarga paranormal dan tidak ada pedang yang terhunus di belakang punggungku. Jadi aku duduk di lantai.

Yang ternyata sama-sama terasa terintimidasi.

"Jadi untuk apa kau berada di sana?" tanya Pak Asia, sang hakim, sambil mendesah. Ekspresi lelahnya seakan sedang kecewa karena putrinya baru saja mengaku hamil di luar nikah, padahal aku bukan putrinya.

"Aku ...." Ucapanku menggantung, tidak tahu harus dilanjutkan dengan apa. Sejujurnya, aku bahkan tidak tahu apa alasan utamaku. Aku kehilangan dua teman baik. Aku merindukan sosok penyabar yang bisa kuandalkan setiap terjadi masalah.

Firasat Ellen mungkin benar. Aku memang ingin Jordan kembali, tapi kan tidak ada yang bisa dilakukan untuk itu.

Kecuali benar-benar ada.

"Tunggu. Bagaimana cara kalian memanggil Mila?"

"Bukan topik itu yang seharusnya kita bahas."

"Ada ritualnya ya?"

"Daisy, itu bukan sesuatu yang—

Aku memberi penekanan pada suaraku. "Bagaimana—"

Anthony mulai mengoceh. "Kukira kalian menangkap Daisy karena dia tahu cara memanggil—"

"—caranya?" sambungku.

"Apa yang terjadi?" gumam Katrine.

"Hei, diam semuanya!" seru Pak Asia keras. Dia mengambil gelas keramik besarnya dari meja, minum sebentar, kemudian berhenti untuk mengecek ponsel dengan alis berkerut. Melihatku yang tidak sabar menunggu penjelasannya, Pak Asia hanya menghela napas sambil menyimpan ponsel.

"Dengar. Kau pasti sudah tahu berbagai cara memanggil arwah. Papan ouija, lilin, menggambar pola, entah apa lagi yang biasa ditayangkan di film. Ada beberapa orang yang tidak butuh semua itu. Aku memanggil arwah dengan pikiran."

"Kita bisa melakukannya?" tanyaku dengan mulut menganga.

"Tidak, hanya aku."

"Jadi kenapa kalian menuduhku akan memanggil Jordan?"

"Aku tidak tahu apakah kau bisa melakukannya."

"Tentu saja tidak bisa. Kecuali kau beritahu aku. Jadi bagaimana caranya?"

"Kau ini tidak paham ya. Kita tidak bisa sembarangan memanggil arwah yang sudah menyeberang," decak bapak tua itu.

"Maksudnya, Pak Asia benar-benar bisa melakukannya? Itu bisa terjadi?"

Pak Asia mulai terlihat gemas, bagai guru TK yang menghadapi anak bodoh yang tidak mengerti dua ditambah dua sama dengan empat. "Aku tidak bisa. Sama sekali tidak bisa."

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang