14. Permainan Horor Benaran

158 70 3
                                    

Seharusnya hari Kamis adalah hari sekolah favoritku. Tidak banyak buku pelajaran yang dibawa hari ini, dan bahkan aku bisa memakai kantong kresek untuk mengisi buku Biologi dan Bahasa Inggris jika mau. Tapi bukan itu intinya. Kami memulai hari dengan jam olahraga, yang seharusnya akan kusambut dengan sukacita karena Pak Suwardi mengeluarkan sekumpulan bola voli. Bukannya aku jago olahraga atau semacamnya, tapi aku suka kegiatan pukul-memukul, terutama voli, karena lambunganku selalu sempurna—Pak Jo, guru Fisika kami, pasti bangga melihatnya.

Jadi kau pasti paham betapa malunya diriku saat aku gagal melakukan servis dua kali berturut-turut. Bola itu sudah memantul beberapa kali, hampir menggelinding jauh ke selokan, sebelum akhirnya kutangkap dengan wajah memerah. Ini hal yang wajar terjadi pada sebagian besar murid cewek, tapi tidak pernah ada sejarah Daisy Wu payah dalam voli.

"Ayo, Daisy!" teriak Rebecca beberapa meter di sampingku setelah aku kembali ke posisi semula. Di tim lawan, Bertha dan kawan-kawan tidak repot-repot memelankan tawa mereka.

"Smash!" Your face, tambahku dalam hati.

Aku memandang bola putih ringan itu yang akhirnya meluncur ke arah Bertha. Tidak siap dengan serangan awalku, cewek itu hanya berdiri diam sambil melongo bodoh, sampai akhirnya Fei mengambil alih dan memukul bola itu sebelum mengenai wajahnya yang mulus. Aku tidak memerhatikan siapa dari timku yang membalas, dan siapa berikutnya lagi, karena Bertha tiba-tiba menjerit.

"Kau gila ya?" seru Bertha setelah mulai sadar. Sambil menghentakkan sepatu, dia melangkah mendekati jaring dan menatapku marah. Permainan voli yang baru saja berlangsung itu pun dihentikan. Bahkan tim voli cowok ikut berhenti dan menyaksikan kami.

Kubalas Bertha dengan tatapan sebingung mungkin. "Huh?"

"Sudah, Bertha," kata Fei sambil menepuk bahunya. Sebelah tangannya lagi sibuk memeluk bola, sesuatu yang tidak akan dilakukan sebagian cewek lain karena takut kaus mereka kotor.

"Daisy sengaja menembakku!" Bertha menunjukku dengan marah.

Dari berbagai sudut pandang, tentu saja yang kulakukan itu logis, dan aku bisa membalas Bertha dengan mudah karena dialah yang bertindak kekanakan di sini. Seharusnya kujawab semacam, 'Tentu saja, Bertha, karena terakhir kali kuingat, kau ini anggota tim lawanku, bukannya manekin.'

Alih-alih mencibir dan terlihat keren, aku malah mematung dengan wajah yang kuyakini pasti pucat. Keringat membasahi dahiku, yang kuyakini bukan akibat pemanasan sekilas atau pukulan pertama tadi. Di mata semua orang sekarang, aku sedang ketakutan karena teriakan Bertha.

Karena mereka, termasuk Bertha, tidak bisa melihat Mila yang berdiri di belakang cewek itu.

Mila tidak mengatakan apa pun. Dia hanya tersenyum mengerikan sambil menyentuh pundak Bertha, seakan memberi semangat saat cewek itu masih mengomeliku dengan kalimat tidak penting. Tanpa sadar aku menoleh pada Rebecca, yang menatapku prihatin, kemudian sepertinya salah mengartikan isyaratku dan malah berjalan mendekat.

Oh, tidak. Sial. Tenggat waktu itu. Ini hari terakhir.

Aku menggeleng pelan untuk menyuruhnya tetap di tempat, tapi Rebecca masih melangkah, dan seakan dalam gerak lambat, mataku berpindah antara Rebecca, semua murid yang menonton, lalu Pak Suwardi yang malah berbincang dengan guru olahraga SMP di lapangan sepak bola.

"Sini!"

Segalanya terjadi begitu mendadak. Detik berikutnya, tahu-tahu saja Bertha sudah merebut kasar bola dari tangan Fei yang sempoyongan, Rebecca sudah berdiri di sebelahku, lalu Mila sudah menghilang. Bertha tersenyum sambil membuat ancang-ancang, tatapannya malah tertuju pada Rebecca alih-alih diriku. Pelototan ganjil Bertha yang tidak biasalah yang membuatku segera menyadari apa yang sedang terjadi. Mila sudah memasuki tubuh Bertha.

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang