27. Bom Kebenaran

178 61 6
                                    

Aku paham kalau segala sesuaru berubah dengan cepat di SMA. Anak-anak culun tiba-tiba menata rambut mereka, anak-anak kalem memutuskan memasang cakar, lalu anak populer mendadak menjadi anak paling pendiam di kelas.

Bertha duduk di kursi paling belakang, bukan tempat tengah favoritnya, tapi di pojok, menenggelamkan diri di balik buku Matematika yang besar dan aku tahu alasannya bukan karena sedang mempelajari rumus. Hampir tidak ada yang menghampiri mejanya. Bahkan gengnya sendiri sibuk masing-masing di kursi depan. Aku tidak tahu apa yang persis terjadi, tapi katanya Bertha sempat meneriaki Rebecca dan membanting mic ke lantai sebelum berlari keluar dari ruangan pesta sambil menangis. Kata sumber lain lagi, Rebecca mengungkit bagaimana Bertha memanfaatkannya untuk mengerjakan tugas dan menyuap guru-guru supaya mendapat nilai bagus.

Berbeda dengan diriku yang merasa rugi tidak menonton, William tampak senang sekali dia tidak ikutan. Atau anak itu hanya lega karena hari ini tidak perlu duduk sebangku dengan Rebecca lagi.

"Aneh sekali jadinya," komentarku pada Rebecca yang asyik menebalkan buku catatan Matematika dengan stabilo warna-warni. Sumpah, tidak ada yang akan bisa menemukan buku penuh rumus yang ditulis serapi dan secantik itu selain miliknya. "Orang-orang takut padamu."

"Biarkan saja. Aku tidak butuh mereka," balasnya santai.

"Um, Bec," panggilku ragu. "Aku melihat kau dan Rylan—"

"Dais," potongnya tegas. "Serius. Tidak ada kejadian penting di antara kami. Rylan hanya menyapa, itu saja."

"Bagaimana jika Rylan masih menyukaimu?" Kuharap nada pertanyaanku netral, karena Rebecca mulai menolehku dengan ragu (apa itu ekspresi bersalah?).

"Aku tidak ingin kita bertengkar karena cowok. Lagipula yang penting—"

"Aku tahu. Yang penting kau sudah punya pacar kan? Maksudku itu tidak mengubah fakta kalau Rylan masih menyukaimu." Astaga, kenapa aku terdengar menuduh?

"Aku ingin bilang yang penting aku sudah tidak memiliki perasaan itu lagi. Dais, aku dan Charles sudah tidak saling berbicara," kata Rebecca santai seakan baru saja menceritakan tadi pagi dia sarapan roti coklat.

"Oh." Aku mengerjap, tidak tahu harus lega atau cemas dengan fakta itu. "Dia dan Bertha benar-benar bermain di belakang?"

"Bukan itu," geleng Rebecca. Ekspresinya terganggu, barangkali sedang membayangkan Charles yang berkencan dengan Bertha. "Karena biarpun mereka hanya berteman, tapi Charles sudah bersikap tidak terbuka padaku. Aku sadar kalau masih banyak hal yang tidak kuketahui soal Charles, padahal kami sudah saling mengenal selama empat tahun."

"Apakah ada kemungkinan kalau Charles itu psikopat? Misalnya dia hanya mengencani wanita untuk mendapatkan harta mereka sebelum membunuhnya? Atau barangkali pelaksana praktik ilmu hitam untuk mencelakakan orang lain?" tanyaku asal.

Rebecca mengernyit geli. "Kurasa nggak seekstrem itu, Dais. Dia hanya ... begitu tertutup dan sulit dijangkau."

Aku menghela napas. Jika Rebecca saja tidak terlalu mengenal soal Charles, bagaimana bisa Rylan mengklaim kalau dia tahu sesuatu? Barangkali dia berbohong dan sengaja memanfaatkanku untuk mencapai tujuannya.

"Aku ingin bicara soal Rylan," kataku akhirnya. Persetan jika Rylan menipu atau tidak. Ini tetap sesuatu yang harus kuungkapkan pada Rebecca sejak dulu.

"Dais, aku sudah bilang kalau aku sudah tidak punya perasaan padanya."

"Bukan itu. Begini, dia masih menyukaimu. Aku hanya ingin kau tahu kalau ... dia masih menyukaimu."

Aku harus membeli buku '1001 Cara Menyusun Kalimat Supaya Kau Tidak Terdengar Bodoh: Terutama Untuk Daisy Wu'.

"Bukankah ini aneh dan tiba-tiba?" lanjutku lagi. Ketika melihat ekspresi tidak enak Rebecca, aku cepat-cepat menambahkan, "Bukannya aku terganggu dengan fakta ini, Bec. Tapi ingat ketika Rylan ke rumahmu untuk mengobrol dan kalian berpelukan? Apa yang kau rasakan?"

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang