3. Pengintai Rahasia

321 86 11
                                    

Setelah mendengar kuliah lanjutan dari Pak Asia selama hampir satu jam, akhirnya dia menunjukkan tanda bahwa aku sudah boleh angkat bokong. Langit sudah hampir gelap di luar dan Jeremy menawarkan untuk mengantarku pulang. Kubilang tidak perlu repot-repot karena aku akan menelepon Papa, tapi seluruh keluarganya memaksa.

Oke, hanya Pak Asia, Katrine, dan Jeremy, sih. Tapi Ellen dan ibunya pada dasarnya memang tidak banyak bicara.

Lima menit setelah mengiyakan, aku segera menyesalinya. Bukannya aku keberatan naik motor tua yang tidak ada pegangan besi di belakang, tapi kami tidak dibekali pelindung kepala, dan aku tidak bisa mengajukannya karena Jeremy sendiri memutuskan kalau helm tidak dibutuhkan dalam perjalanan kurang dari tiga kilo meter. Sambil menggigit bibir, aku menunduk menatap salah satu lutut yang kucengkram, berharap bisa tiba di rumah tanpa kurang satu pun anggota tubuh. Papa akan membunuhku jika tahu.

Jeremy tidak langsung pergi ketika kami tiba sudah di depan rumahku. Dia terdiam sejenak tanpa ekspresi, seolah sedang menerawang entah ke mana. Aku yakin dia bukan sedang mengagumi SUV hitam pasaran Papa yang terparkir di halaman.

"Terima kasih," kataku cepat setelah melompat dari sepeda motor, diam-diam berharap dia cepat-cepat pergi sebelum Papa keluar dan menginterogasinya. Rambutku jadi sedikit kusut akibat terpaan angin.

Anak itu masih bergeming. Aku menoleh, mengernyit karena tidak menemukan apa pun yang aneh dari perpaduan cat warna krem dan cokelat muda rumahku. Tidak ada jemuran memalukan di halaman atau teras yang akan menarik perhatian. Lonceng angin yang digantung di depan pintu juga tidak kelihatan norak. Lagipula, Jeremy tidak mungkin melihat itu, karena aku pasti juga akan menyadarinya.

"Apa?" tanyaku gelisah.

"Aku bisa merasakan kehadiran mereka tanpa melihatnya," kata Jeremy tiba-tiba tanpa memandangku. Sama seperti Ellen dan semua keluarga Tenggara lainnya, wajahnya minim ekspresi. Tapi Jeremy memberi kesan horor tersendiri karena terkadang bibirnya melengkung tipis dan dia menatapmu penuh misteri seakan dia menyadari sesuatu yang tidak kau ketahui. Kulit gelapnya tampak kekuningan di bawah sorotan cahaya lampu yang menerangi kompleks perumahan. "Terkadang aku juga bisa sedikit merasakan aura."

"Apa itu salah satu kemampuan Paranormal?"

Jeremy menoleh padaku. "Kurasa itu bakat tambahan."

"Mencengangkan," kataku.

"Apa kau bisa merasakannya, Daisy?"

"Well, tidak. Aku tidak butuh bakat tambahan." Aku bergerak tidak nyaman sambil melirik Papa yang mengintip dari balik tirai jendela. Astaga, kapan Jeremy akan pergi?

"Kau akan punya bakat tambahan," ucap Jeremy yakin.

"Apa kau juga peramal?"

"Itu kakak perempuanku."

"Ellen adalah peramal?" Aku tidak bisa menahan diri untuk berseru keras. Kedua mataku terbelalak.

"Belum," jawab Jeremy kalem, kemudian menepuk bahuku dengan serius—dia memang selalu serius, tapi ini ekstra serius lagi. "Daisy, ada yang mengintaimu."

Kata-kata itu seakan mengirim sihir yang mengutukku menjadi patung saat itu juga. Aku mengerjap, tidak mampu bergerak sedikitpun, sementara Jeremy akhirnya mencengkram pegangan rem motor.

"Siapa?" Suaraku terdengar seperti bisikan. Aku berusaha mengingat-ingat siapa pun yang pernah mampir, mulai dari kakek-kakek yang mencari istrinya, anak laki-laki yang menangis, sampai seorang gadis pucat yang sekedar ingin jalan-jalan. Tidak ada satu pun dari mereka yang datang lebih dari sekali.

"Aku tidak tahu." Jeremy mengedikkan bahu, lalu bisa-bisanya menyunggingkan senyum tipis padaku. "Tapi dia tidak jahat."

👻👻👻


TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang