26. Chaos

171 68 1
                                    

Hitam tidak pernah menjadi warna favoritku. Entah sejak kecil, ketika kita harus mengisi kolom warna favorit di lembar biodata iseng yang dikumpulkan teman-teman SD, atau ketika gaya emo dan warna gelap sedang ngetren banget di zaman SMP, bahkan sampai sekarang di mana orang-orang memutuskan hitam adalah warna elegan yang menambah kesan keren dan misterius bagi penggemarnya.

Mungkin karena namaku Daisy, dan aku terbiasa dikelilingi corak bunga putih akibat Mama terobsesi memilih barang untuk anak-anaknya dengan tema sesuai dengan nama mereka masing-masing. Bisa kau bayangkan: jepit rambut daisy, gaun bercorak daisy, sandal jepit dengan bunga daisy besar di atas, kotak makan daisy, bahkan celana dalamku saat kecil bergambar daisy. Mama selalu bilang warna putih cocok untukku, seperti dia memutuskan bahwa warna Lily (adikku) adalah oranye dan Rose (adikku yang lain) berwarna merah muda.

Jadi kau mengerti kan betapa tidak nyamannya diriku berada di tengah-tengah perabotan serba hitam ini.

Bahkan bukan sekedar hitam biasa.  Di sekelilingiku ada beberapa meja bulat besar dan kursi berwarna hitam pekat dan tirai hitam yang menghiasi dinding pucat dengan warna serupa. Absennya kilauan pada kain tirai itu menggangguku, padahal itu satin, dan aku masih bisa melihatnya dengan jelas walau gelap. Entah dari mana aku bisa yakin itu satin, tapi yang jelas aku tahu. Tirai yang sama menghiasi panggung di depan, di mana terletak sebuah manekin yang duduk di tengah kursi.

Aku berjalan ke arah panggung, menyadari ada yang familier dari manekin cantik bergaun hitam mengembang itu. Patung itu seakan menatapku dengan senyum yang tersembunyi di balik bibir kakunya. Yeah, mendekatinya mungkin adalah pilihan buruk. Tahu kan, seperti orang tolol di film-film horor, di mana nanti tangan si manekin akan bergerak tiba-tiba dan mencengkram lenganku ....

Tenang saja, kupastikan itu tidak akan terjadi, soalnya ini kan 'film'ku.

'Itu bukan manekin,' batinku saat mengambil satu langkah.

'Berkedip.' Satu langkah ke depan.

'Berdiri.' Tinggal dua langkah dari bawah tangga panggung.

'Setidaknya senyum deh, tapi jangan yang seram-seram.' Satu anak tangga pertama.

'Atau itu memang manekin,' pikirku lagi saat sudah di atas panggung.

'Jangan. Nanti makin seram.' Aku mendebat diri sendiri.

'Kalau pun kau bukan manekin, aku masih bisa melemparmu ke ujung ruangan dengan satu tangan,' ancamku ketika sudah berada di depannya.

Sebelah sudut bibir manekin itu akhirnya terangkat. Sial, sial, siapa dia?

Aku melirik ke bawah, menyadari kalau ternyata kedua pergelangan tanganku sudah dikelilingi jari-jari pucat.

Sialan, kenapa aku tadi sempat memikirkan ini!

"Rebecca," kataku akhirnya, teringat dengan sosok yang muncul di pikiranku saat menatap manekin.

"Hai, Daisy. Kau telat." Cengkraman di pergelangan tanganku menghangat. Kuangkat tatapanku ke wajah manekin yang sepenuhnya sudah tergantikan oleh Rebecca yang kukenal. Dia tersenyum lebar seperti biasa, dan untungnya tidak seram.

"Telat apa?" tanyaku.

"Pesta ulangtahunku. Sudah dimulai dari tadi," jawab Rebecca santai sambil menunjuk ke seluruh ruangan. Aku mengikuti arah pandangnya dan mendapati bahwa ruang pesta masih sepi, suram, dan serba hitam seperti tadi. Walau tidak ada hal seram yang muncul mendadak seperti sekelompok manekin duduk di kursi, hal ini masih membuatku tidak nyaman.

"Bec, apa kamu sadar kalau hanya ada kita di sini?" tanyaku gelisah.

Rebecca menatapku dengan heran. "Masa kau tidak bisa melihat mereka?"

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang