21. Nasihat Jelangkung

167 65 8
                                    

Aku sudah terbiasa bertengkar dengan adik-adikku. Well, justru akur dengan mereka adalah hal yang tidak terlalu wajar bagiku. Kami mempermasalahkan hal-hal kecil, memperebutkan segalanya, menyalahkan apa pun. Lily pernah dengan sengaja menghabiskan jatah es krimku dan sebagai gantinya aku mengambil kembali buku binder yang pernah kuberikan padanya. Beberapa jam kemudian kami menonton film bersama di kamar dan melupakan masalah tadi.

Intinya, kau tidak pernah khawatir jika punya konflik dengan saudaramu, karena kalian toh juga akan berbaikan tanpa harus mengucapkan maaf.

Nah, masalahnya Rebecca bukan saudaraku, jadi aturan itu tidak berlaku. Usaha terbaik yang kulakukan hanyalah menghampirinya saat latihan drama Jumat kemarin, menggumamkan maaf dengan suara yang terdengar seperti ada segumpal kapas di mulutku. Entah tidak dengar atau tidak peduli, Rebecca malah menghampiri Jackson yang memanggilnya tanpa menoleh padaku.

Biar kuberitahu rasanya: seperti ditonjok Hulk. Tidak ada yang lebih menyakitkan ketimbang teman baik yang mengabaikanmu, apalagi tidak mau memaafkanmu. Aku memilih dicekik Mila sekali lagi—OMONG-OMONG DI MANA DIA?

"Oke, adegan selanjutnya favoritku," Fei mengumumkan. "Juliet dan pelayannya berbincang di kamar, lalu hantu Romeo berusaha berkomunikasi dengan Juliet. Walaupun Juliet tidak bisa melihatnya, entah bagaimana dia bisa merasakan kehadiran Romeo."

"Sedih," keluh Jackson saat William mulai memainkan nada Once Upon A December.

Aku tidak sempat menyaksikan adegan mereka karena harus mengatasi masalah tim tata panggung di sudut kelas yang berdebat apakah mereka harus membuat bunga di antara rerumputan atau cukup rumput saja. Kubilang itu bukan masalah besar, tapi Levina, sang ketua tim, mengotot kalau kehadiran sebatang bunga saja bisa mempengaruhi nilai drama kami.

"Tidak perlu repot-repot bikin bunga, letakkan saja Daisy di sana," saran Anthony yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.

"Kau tahu mereka tidak bisa mendengarmu," kataku sambil memutar bola mata.

"Ide bagus," kekeh Levina, "Daisy itu kan bunga."

"Apa?" tanya yang lain dengan wajah bingung.

"Tadi ada yang menyarankan ...." Levina menoleh ke sekitar dengan wajah pucat. "Eh, tunggu. Sumpah tadi ada suara dari belakang."

"Belakangmu dinding, Lev," jawab temannya.

Masih menganga, aku melirik Anthony yang terkekeh dan menghilang untuk muncul lagi di sampingku. Kuseret dia menjauh dari tim tata panggung yang mulai bergidik dan menceritakan pengalaman-pengalaman seram.

"Kenapa kau muncul di sini?" bisikku.

"Kapan akhirnya kau mengerti rasa terima kasih karena ada hantu baik yang melindungimu dari bahaya?" decak Anthony sambil duduk di salah satu meja kosong di sampingku. Saat itu memang jam pulang sekolah, tapi kelas masih ramai oleh anggota kelompok dramaku. Para pemain latihan di depan kelas, tim tata panggung menyusun meja dan membuat properti entah apa yang hanya Tuhan bisa tahu bagaimana hasilnya nanti, sedangkan tim tata busana terlihat lebih kompak dan meyakinkan, karena mereka benar-benar menjahit sendiri gaun untuk Juliet dari kain-kain yang dikumpulkan.

"Aku sedang latihan drama. Memangnya bahaya apa yang akan terjadi?"

"Bahaya sedang menghampirimu sekarang," jawab Anthony serius.

Belum sempat aku membalikkan tubuh ke arah pandang hantu itu, tiba-tiba sebuah tepukan keras menghantam pundakku. Aku sudah hampir mengeluarkan senjata dari saku kemeja—tali perak pendek yang diberikan Pak Asia kemarin—sampai akhirnya tersadar kalau itu Jackson.

"Kapan sih kau dan Rebecca berbaikan? Lihat, mereka sudah semakin dekat. Aku nggak suka melihatnya," keluh Jackson sambil mengedikkan dagu ke arah William yang mengajari sedikit nada keyboard pada Rebecca. Fei tampaknya sibuk menceramahi Rio, pemeran Paris, jadi ini adalah kesempatan break bagi sisa pemain.

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang