Bab 2: Keberangkatan

176 35 51
                                    

Tidak ada alasan bagiku untuk pulang saat akhir pekan. Namun, sekarang beda. Aku harus bertemu dengan Ayah dan berbicara empat mata dengannya secara langsung. Meskipun aku tidak terlalu suka dengannya, harus ada yang kupastikan.

Ruang makan bercat putih dengan meja panjang yang dapat memuat enam orang, kursi-kursi agak tinggi dengan bantalan empuk, lemari kayu untuk menyimpan peralatan makan antik, lampu gantung mewah, dan seorang pembantu robot menjadi saksi bisu ayah-anak yang sedang makan tanpa suara. Hanya ada denting sendok-garpu dengan piring. Tanpa ada yang mau memecah keheningan. Tidak Ayah, pula aku.

Setelah makan malam selesai, aku tidak langsung beranjak. Begitu juga Ayah. Humanoid AI yang biasa mengurus rumah langsung membereskan perlengkapan makan dan segera meninggalkan kami berdua. Sebelum Ayah pergi dari meja, aku lekas bersuara.

"Ayah—"

"Bagaimana sekolahmu?" tanya Ayah memotong. Matanya fokus ke ponsel.

"Baik—"

"Ayah dengar kau jadi perwakilan olimpiade."

"Benar."

"Menang dan jangan mengecewakan. Akan buruk untuk yayasan kalau kalian sampai kalah," tegasnya.

Aku mengepalkan tangan. Kesal. Orang tua itu mulai seenaknya lagi. Namun, kupendam perasaan itu dalam-dalam karena masih ada sesuatu yang jauh lebih penting.

"Ayah," panggilku datar. "Olimpiade itu bukan olimpiade biasa. Apa yang kalian sembunyikan?"

Ayah mendongak. Tatapannya menusuk, tetapi aku tidak gentar. "Tugasmu sekarang hanyalah belajar dengan giat dan memenangkan olimpiade itu."

Aku mengetatkan rahang. Gusar. "Kalau ada sesuatu yang salah, siapa yang mau bertanggung jawab?"

"Itu bukan urusanmu, Arennga. Tugasmu hanya satu: menang. Acara ini melibatkan tiga negara. Kalau ada sesuatu yang salah, hubungan multilateral akan menjadi ancamannya. Altherra tidak akan tinggal diam."

"Tapi—"

"Pembicaraan malam ini selesai."

Aku menggebrak meja. Pria tua itu menatap sinis.

Kesabaranku habis. "Tidak bisakah kau setidaknya peduli padaku?! Apa aku tidak cukup berarti? Aku sudah sering memenuhi keinginanmu! Yang kuinginkan sekarang hanyalah jawaban! Katakan saja—"

Ayah balas memukul meja. Jari telunjuknya mengacung padaku. "Cukup, Arennga! Jaga sopan santunmu! Kau seharusnya tahu bagaimana caranya bersikap di depan orang yang lebih tua. Ibumu tidak mengajarkan itu dengan sia-sia."

Aku bungkam. Namun, gemuruh di dadaku bergejolak semakin kuat. Bisa-bisanya dia mengungkit soal Ibu.

"Sekarang kembali ke kamar dan renungkan perbuatanmu."

Ayah meninggalkanku yang terpaku di meja makan. Obrolan yang menguras emosi itu lagi-lagi berakhir dengan kesia-siaan. Aku pun kembali ke kamar karena sudah tidak tahan di dekat orang tua itu lagi.

Sepi. Sunyi. Senyap.

Rasanya seperti sudah lama aku meninggalkan kamar bercat putih ini. Padahal baru liburan semester lalu aku di sini sampai bosan. Kamarku rapi. Tidak ada yang berubah. Kasur single berseprai biru gelap berdiri di ujung kiri. Di sebelahnya ada meja belajar dengan lampu meja, jendela di depannya memperlihatkan langit gelap. Gordennya belum ditutup. Gitar akustik tergantung di sebelah kanan dekat pintu masuk kamar mandi dalam. Di sebelahnya ada lemari kayu berbahan jati. Sepatu-sepatu di rak dekat pintu masuk tertata apik. Karpet biru langit berbulu lembut berasa seperti telah dicuci. Pembantu humanoid AI yang ada bekerja dengan baik. Bagus.

Avatar System: Brain GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang