Fase kedua dimulai dengan kunjungan kami ke Museum Sejarah Peradaban Kota Dvat. Museum yang dikhususkan menyimpan barang-barang arkeologi, mulai dari zaman batu sampai ke kerajaan Alafathe yang pernah berperang dengan manusia di benua Verdena Selatan.
Mengesampingkan bahwa kami ini berasal dari Scienta yang notabene tidak mempelajari sejarah secara mendalam, kunjungan ini sangat penting bagi kelangsungan olimpiade, katanya. Ini mungkin berhubungan dengan tajuk fase kedua yang pernah disinggung pada saat pembukaan, yaitu, "Simulasi Teknologi". Akan tetapi, aku tidak melihat korelasinya di mana. Lebih cocok kalau kami dibawa ke pusat teknologi.
Namun, aku tidak akan berasumsi lebih jauh terlebih dahulu sebelum mendengar alasan pihak panitia. Kenapa olimpiade Scienta memasukkan unsur Social di dalamnya? Aku yakin jawabannya akan segera kudapat.
Jalanan tidak bisa dibilang lancar. Dari perhitunganku, laju mobil tidak melebihi 30 km/jam. Cukup lambat untuk ukuran kota besar. Untuk mengisi waktu luang di tengah kemacetan jalanan, Chrys dengan senang hati menghibur kami dengan lawakannya yang sangat bermutu sampai aku mengerling beberapa kali saking gurihnya lelucon anak itu layaknya keripik kentang kualitas premium.
"Katanya kalau kalian makan tahu terlalu banyak, kalian sulit untuk berbohong. Soalnya sering ketahuan." Tawa anak itu pecah.
Chloe menyahut, "Tapi kita juga bisa tambah pintar, soalnya serba tahu."
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Pemandangan berganti dari padatnya jalan raya ke taman kota yang penuh dengan pepohonan dengan guguran daun dan bunga flamboyan, gedung pencakar langit dengan kaca-kaca yang memantulkan langit biru berawan putih, sampai kami menemukan sebuah bangunan besar sewarna gading dengan lapangan yang cukup luas. Di depan pagar pembatas lapangan dengan jalanan, terdapat plang hitam bertuliskan "Museum Sejarah Peradaban" berwarna emas mengilap.
Kami melewati penanda itu dan masuk ke pelataran parkir. Di sana, tim Ascent dan Canidae sudah tiba terlebih dahulu. Mobil-mobil hitam terparkir rapi di sebelah kiri bangunan museum yang memanjang dengan tiang-tiang besar penopang di depannya.
"Woah!" Chrys berseru takjub melihat bangunan museum yang megah sesaat setelah keluar dari mobil. Kepalanya menengadah memperhatikan bangunan yang besar menjulang sampai tiga lantai.
"Ayo, Anak-anak. Kalian bisa mengaguminya nanti," ajak Pak Ben sambil menggiring kami ke dekat patung di depan museum.
Pak Alvin selaku sopir kami memisahkan diri dengan sesamanya, begitu pula Pak Ben yang langsung berkumpul dengan Pak Oxa dan Bu Eva. Para guru pembimbing berdiskusi dengan seseorang yang kuasumsikan sebagai pihak museum yang bertanggung jawab atas kunjungan ini.
Selagi menunggu para guru pembimbing berdiskusi, kami mengobrol sedikit dan "mengakrabkan diri".
Kami semua berkumpul di depan patung marmer berwarna hitam. Patung itu mirip seperti patung yang ada di arena latihan fase pertama, kecuali dengan pakaiannya yang berupa setelan lengkap jas, bukannya jubah. Ada tongkat di tangan kanan dan perkamen tergulung di tangan kiri. Chrys menghampiri patung tersebut dan memperhatikannya seperti seorang anak yang mendapat mainan baru.
"Lihat, Ren!" serunya. "Final Boss!" Dia merentangkan kedua lengan ke arah patung itu seperti memperlihatkan mahakarya.
Aku mengerling menanggapinya. Yang lain hanya tertawa.
"Kalian tahu? Ada yang bilang kalau patung seorang tokoh memegang gulungan perkamen menandakan bahwa orang tersebut adalah anggota dari suatu perkumpulan rahasia," celetuk Alva tiba-tiba sambil tersenyum angkuh seperti memamerkan pengetahuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
Science FictionMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...