Perhatian: Cerita ini hanya dirilis di platform W A T T P A D.
...
Fase pertama ditutup pada hari Minggu dengan jumpa pers di siang hari ditambah pertunjukan seperti saat pembukaan pada malam harinya. Untungnya tubuhku sudah siap saat hal itu terjadi. Aku tidak bisa membayangkan berada di depan puluhan awak media sambil terus menahan sakit di sekujur tubuh.
Sepulang pertandingan, aku langsung merebahkan diri di kasur. Pertandingan itu benar-benar membuatku lelah fisik dan mental. Belum lagi aku sempat terjatuh dari ketinggian sepuluh meter. Tulang dan ototku benar-benar terasa ngilu. Di jam-jam pertama, aku hanya bisa meringkuk di atas kasur. Sesekali aku meringis sampai menarik perhatian Chrys yang sama-sama terkapar dan Pak Ben.
"Para jagoan Bapak tumbang," kelakar Pak Ben seraya tertawa. "Bapak akan bilang ini sekali lagi, kalian sangat luar biasa. Bapak bangga sekali." Pak Ben duduk di pinggir kasurku. "Tapi, tolong, kurangi kekerasan dalam tim. Kalian harus akur dan saling mendukung satu sama lain."
"Akh!" Aku menjerit, lebih karena kaget saat Pak Ben menyentuh punggungku. Namun, sepertinya guru pembimbing kami itu salah mengartikan.
"Ada yang luka, Arennga? Sini Bapak lihat. Jatuh dari ketinggian seperti itu bisa saja membuatmu cedera."
"Aku tidak apa-apa, Pak," tolakku sambil meluruskan punggung. Bunyi "krak" menyambutku.
Chrys yang ada di kasur sebelah bergumam. "Enak sekali kau, Ren. Tubuhku pegal semua."
Pak Ben tertawa. "Chrys mau Bapak pijat?" tawarnya. "Bapak jago, loh."
Si Anak Pirang bangkit dengan antusias. "Wah, betulan, Pak? Mau, dong!"
"Oke." Pak Ben meregangkan jari-jarinya. "Sana, tengkurap."
Dan begitulah. Tidak ada hal lain lagi yang penting. Makan malam berjalan sebagaimana mestinya. Chrys melawak. Chloe mengomentari setiap aksiku saat memimpin. Mischa menanggapi seperlunya. Pak Ben menghilang setelah makan malam. Otot dan tulangku kembali rileks setelah mandi air hangat dan tidur yang nyenyak.
...
"Apa aku harus tambah gelnya lagi?"
Chrys terus memainkan rambut pirangnya di depan cermin. Sudah hampir setengah jam dia berdandan dengan gel rambut dan tidak selesai-selesai. Terkadang dia menyisirnya ke belakang sampai klimis, terkadang dia menatanya ke arah kiri atau kanan.
Aku yang duduk di pinggir ranjang hanya menatapnya bosan. Aku sudah berusaha kabur sejak aku sendiri selesai berpakaian, tetapi anak itu terus menahanku dan bersikeras agar pergi bersama supaya tidak menjadi pusat perhatian yang berlebihan.
"Menggelikan," komentarku ketika Chrys membentuk jambul di depan dahinya.
Si Anak Pirang mendengus. Dia lagi-lagi mengubah gaya rambutnya dan memakai gel yang lebih banyak. Kilauan dari terpaan lampu memantul di rambutnya menjadikan surai anak itu seperti berminyak banyak.
"Kau tidak akan menarik perhatian siapa pun dengan gaya seperti itu."
"Kalau begitu tolong aku," rengek Chrys. Dia mengacak rambutnya sendiri sampai seperti orang yang baru bangun tidur.
Pak Ben datang dengan tergesa. Langkahnya yang besar dan berderap menarik perhatian kami. Dari ambang pintu, guru pembimbing kami mengomel, "Kalian ini .... Kenapa belum selesai? Lekaslah, Para Bujang. Kalian bahkan kalah cepat dari gadis-gadis yang telah menunggu di bawah."
"Chrys yang lambat," aduku sambil menunjuk tersangka dengan dagu.
Pak Ben lantas mendekati Chrys yang rambutnya masih acak-acakan. Dia mengambil gel rambut di tangan Si Anak Pirang dan mencolek isinya. Pak Ben kemudian mengotak-atik rambut Chrys, mengaturnya ke sisi kanan sambil menyisirnya agar rapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
Science FictionMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...