Bab 3: Kedatangan

153 30 28
                                    

Perjalanan udara itu memakan waktu dua jam. Setibanya di Bandara Internasional Avion, Ascent, kami disambut oleh seorang pria muda berambut pirang keemasan, mata biru, hidung mancung, bibir tipis, dan telinga lancip. Ciri khas dari seorang Alafathe—salah satu ras terbesar di Erdeae. Dia mengenakan jaket hitam dengan leher berbulu yang kontras dengan kulitnya yang putih.

"Alvin Endrin," sapa orang itu memperkenalkan diri sambil menjabat tangan Pak Ben. "Panggil saja Alvin." Dia lantas menyalami kami satu per satu.

Pak Alvin kemudian mempersilakan kami masuk ke mobil yang cukup lega. Kendaraan itu dapat memuat enam sampai delapan orang jika berdempetan. Ditambah bagasi belakang membuatku tidak perlu berbagi tempat dengan koper sialan Chloe seperti sebelumnya. Pengharum mobil dan AC yang pas menambah kenyamanan di dalam sini.

Setelah semua siap, mobil melaju kemudian. Kami keluar dari kompleks bandara ke jalanan Kota Dvat yang cukup padat. Mobil-mobil beragam jenis dari yang beroda sampai yang melayang memenuhi jalanan. Ditambah dengan hoverbike dan Unmanned Aerical Vehicle (UAV) berbagai ukuran berseliweran memadati langit, membuat kota ini sangat hidup. Sesekali klakson terdengar karena di jalur udara ada kendaraan yang hampir bertabrakan.

"Sibuk sekali," gumam Chrys tampak mual dengan itu semua.

Kota Dvat tidak berbeda jauh dengan Kota Xentharia tempatku tinggal. Gedung-gedung tinggi mencakar langit bagai hutan yang terbuat dari beton. Di antara mereka tidak hanya berbentuk prisma segi empat, tetapi juga ada yang menyerupai teratai yang setengah terbuka. Belum lagi bentuk-bentuk "aneh" lainnya. Menurut artikel yang kubaca, Ascent, khususnya Dvat, senang sekali membuat bangunan dengan beragam makna dan unsur filosofis di dalamnya.

"Bagaimana perjalanan kalian?" tanya Pak Alvin memecah kecanggungan sambil menyalakan musik perlahan. Dia melihat kami dari kaca spion tengah. Mata birunya menelisik kami satu per satu.

"Cukup seru! Tapi, aku mendapat teman sebangku yang membuatnya kurang seru. Jadi, ya, 'cukup'," sindir Chrys yang pastinya ditujukan padaku. Aku mendengus memalingkan pandangan. Sopir dan pembimbing kami hanya tertawa pelan.

"Kalau kalian, Gadis-gadis?"

"Lumayan menyenangkan," jawab Chloe. "Apalagi saat mau mendarat, pemandangan kota ini terlihat indah!"

"Iya, benar," timpal Mischa.

Hanya aku yang tidak membalas. Namun, hal itu tidak dipermasalahkan oleh Pak Alvin. Dia tetap fokus ke jalanan dan sesekali melemparkan pertanyaan tidak penting lainnya.

Sepertinya kami mulai memasuki pusat kota. Beberapa bangunan penting seperti rumah sakit, sekolah, mal, dan taman kota yang penuh dengan orang-orang kami lewati dengan cepat. Barisan pepohonan hijau menemani. Sesekali kelopak bunga berwarna merah atau kuning berguguran tertiup angin dan menutupi kaca mobil bagian depan.

"Pas sekali olimpiade ini diadakan saat bunga-bunga Flamboyan bermekaran," celetuk Pak Alvin bangga sambil mengaktifkan wiper. "Kalian jadi bisa menikmati bunga nasional kami."

"Cantiknya," ujar Chloe antusias sambil melihat ke luar jendela. Sementara itu, Mischa hanya mengagumi dalam diam, dan Chrys ... mulutnya menganga seperti ingin melahap semua kelopak yang jatuh laiknya salju yang turun di musim dingin—yang tidak mungkin terjadi di sini karena daerah tropis.

Kami memasuki pelataran hotel yang cukup luas. Taman besar dengan tanaman-tanaman pagar berbunga warna-warni dan air pancur mewah bertingkat-tingkat menyambut kami ketika tiba. Pohon-pohon besar menaungi sisi kiri dan kanan membuat lingkungan menjadi sejuk. Angin yang membawa kelopak-kelopak merah berembus ketika aku keluar dari mobil. Sesekali terlihat robot-robot pekerja sedang memangkas dedaunan atau menyirami tanaman.

Avatar System: Brain GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang