Bab 4: Acara

134 31 38
                                    

Ada alasan kenapa aku agak skeptis dengan acara ini.

Pertama, undangan olimpiade dengan dalih uji coba sistem yang diterapkan. Kalau alasannya untuk pamer teknologi, aku masih bisa memakluminya. Akan tetapi, kata-kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Akademik waktu itu seperti memiliki makna lain. Mereka seperti mengetahui sesuatu.

Kedua, Ascent memiliki teknologi yang tinggi. Tidak heran bila mereka membutuhkan data untuk pengembangan teknologi-teknologi ke depannya. Belum lagi keadaan yang akhir-akhir ini kurang stabil di mana-mana, teknologi canggih untuk menangani hal tersebut sangat diperlukan. Kenapa aku bisa berpikiran demikian? Jawabannya ada di alasan selanjutnya.

Ketiga, menurut artikel yang pernah kubaca sebelumnya, negara itu tengah mengembangkan suatu teknologi yang tiba-tiba saja dihentikan. Alasannya? Tidak ada yang tahu.

Terakhir, para bocah Alafathe itu. Tatapan menantang mereka tidak sehat. Ini lebih dari kompetisi persahabatan. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Ini memang asumsiku saja, tetapi aku rasa ada sebuah tekanan yang mereka emban.

Sepanjang sore, aku tidak bisa diam. Chrys bahkan bertanya kenapa aku terus mondar-mandir seperti setrika sambil terus merengut.

...

Acara pembukaan dimulai pukul tujuh malam. Kami digiring ke tempat yang sama dengan saat makan siang. Hal yang membedakan adalah tempat ini lebih penuh dengan dekorasi dan menu perjamuan yang bermacam-macam. Ada panggung yang masih ditutupi tirai beledu merah, seperti yang sering digunakan untuk teater. Meja dan kursi disusun berdasarkan asal perwakilan, pembimbing, wakil kementerian, pihak penyelenggara, dan pihak hotel.

Untuk menghadiri acara ini, kami diharuskan memakai seragam sekolah lengkap. SMA Scienta et Social tidak berbeda jauh dengan sekolah lain perihal berpakaian. Kemeja putih, rompi abu-abu, dasi hitam, celana atau rok berempel hitam, dan jas berwarna merah marun.

"Matamu bisa copot kalau kau melihat dia seperti itu terus," celetuk Chloe yang lelah melihat Chrys. Lelaki itu memandangi Olivia yang ada di samping kiri meja kami sambil menumpu dagu dengan satu tangan.

"Kalau saja kau merasakan apa yang kurasa, Chlo," sahut lelaki berambut pirang itu sambil menghela napas.

"Dasar Budak Cinta," aku menimpali. Mataku tidak henti-hentinya terpaku pada para Alafathe itu. Ditambah dengan seorang lelaki berkacamata—Aryza Satya—dan satu gadis lainnya—Zea May—sepertinya mereka lawan yang kuat.

"Kau hanya iri karena tidak ada yang menarik perhatianmu," balas Chrys. Aku mendecih.

"Kalian juga harus mempertimbangkan lawan dari Canidae," tukas Chloe. Refleks, kami memandang ke arah kanan.

Perwakilan dari Canidae berisikan tiga laki-laki dan satu perempuan. Dua dari mereka berbadan besar. Aku tidak sempat berkenalan karena mereka datang setelah makan siang, sedangkan aku sudah kembali ke kamar saat itu.

"Menurutmu bagaimana, Cha?" tanya Chloe pada Mischa yang sedari tadi bungkam.

"Eh? Me ... menurutku, semua lawan yang tangguh. Kita tidak sepatutnya meremehkan mereka ... 'kan?"

"Ya, tentu saja," Chrys menjawab.

Lampu ruangan tiba-tiba meredup menandakan acara akan dimulai. Kerlip cahaya biru bagai taburan bintang melayang di udara. Suara biola tiba-tiba mengalun, disusul dengan alat musik orkestra yang lain. Asap perlahan muncul dari bawah menutupi lantai seperti kami sedang berada di atas awan. Senandung merdu yang berasal dari seorang solois wanita mengiringi. Lampu sorot menyinarinya. Suara yang melengking mengingatkanku pada penyanyi opera.

Avatar System: Brain GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang