Bab 39

11 4 0
                                    

Ruang kumpul menjadi hening ketika Pak Ben keluar. Aku ingin melanjutkan percakapanku dengan Chrys, tapi anak itu jelas sekali menghindar dengan memakan biskuit yang tersisa seperti hamster. Suara kunyahannya yang cepat dan gigitannya yang keras pada biskuit membuatku gila.

"Kau benar-benar tidak mau menjelaskan apa pun, Chrys?" pancingku.

Lagi-lagi, anak berambut pirang itu menggeleng cepat. Dia mengunyah, menelan, lalu membersihkan mulutnya dengan terburu-buru. Dengan lirih, dia menjawab, "Tolong, aku mau sendiri dulu." Lalu, begitu saja, dia keluar ruangan tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Sialan kau, Chrys! Aku menutup wajah dengan kedua tangan mencegah umpatan apa pun yang terpikirkan dalam benak untuk terlontar. Kuluruskan kaki agar setidaknya aku bisa rileks untuk sesaat.

"Kau apakan Chrys?" tanya Chloe.

"Kuharap aku tahu," gumamku.

Aku duduk tegap kembali dan menatap Mischa yang tercekat sadar oleh kuncianku. "Mischa, apa yang kau bicarakan dengan Chrys kemarin?" tanyaku dengan nada seperti menginterogasi. Info sekecil apa pun akan berguna untuk mengetahui keadaan anak itu.

Mischa menggeleng pelan. "Dia tidak banyak bicara," balasnya. "Kami lebih sibuk mengerjakan soal dan setiap aku tanya, dia selalu mengalihkan pembicaraan ke hal lain."

Aku menghela napas berat.

"Sudahlah, biarkan dia dulu," komentar Chloe. "Dia masih perlu waktu untuk menerima dengan lapang dada. Mungkin kalau di lima tahap kedukaan, dia sedang di tahap depresi."

"Ya, tapi sampai kapan? Kalau dia terus begini, koordinasi tim akan kacau."

Chloe mengangkat bahu. Dia menatap Mischa yang menghadiahinya gelengan pelan.

Aku berdiri sambil mengurut pangkal hidung.

"Kau mau ke mana?" tanya si Gadis Badut.

"Kamar!" tegasku sambil berjalan menuju pintu. "Aku juga masih harus memeriksa apa ada penyusup yang memasukkan backdoor ke pin avatar atau tidak."

"Kau butuh pinku lagi tidak?" tanya Chloe lagi yang berhasil menghentikanku di ambang pintu.

Aku berpikir sejenak. Akan butuh waktu lagi kalau aku memindai pin milikku. Namun, aku bisa juga mendapat data tambahan dari sana.

"Tidak perlu," jawabku pada akhirnya.

Chloe mengedik sambil berkata, "Oke," lalu mengobrol dengan Mischa.

Aku kembali berjalan. Sepanjang perjalanan, lagi-lagi aku memikirkan tentang Chrys. Dia ingin sendiri, tapi apa itu menjamin dia bakal kembali seperti semua? Kalau sendiri bisa mengembalikan dia meskipun tidak sepenuhnya, aku tidak masalah. Hanya saja, bagaimana kalau itu membuatnya semakin overthinking dan malah membuatnya semakin terpuruk? Aku harus melakukan sesuatu. Pendekatan yang efektif.

...

Kamar kosong melompong. Tipikal. Pak Ben selalu tidak pernah ada selain saat latihan dan briefing. Kadang aku penasaran guru pembimbing kami itu ke mana. Mengatur strategi? Mencari kelemahan lawan? Mengumpulkan data? Memata-matai orang lain? Tidak mungkin dia malah main mata dengan seseorang. Ah, bodoh amatlah. Bukan urusanku. Yang penting dia ada saat kami membutuhkannya.

Aku membuka sepatu, lalu naik ke kasur. Kubukan laptop hologram sambil bersandar pada punggung ranjang. Setelah masuk ke layar utama, aku menyambungkan pin avatar dengan laptop. Proses pemindaian seperti yang kulakukan pada pin Chloe pun dimulai.

Pin avatar memang memiliki enkripsi sehingga tidak mudah untuk diekstrak datanya dan akan memicu keamanan bila ada penyusup yang mencoba menembus. Akan tetapi, hal yang kulakukan hanya sekadar memindai kode-kodenya di permukaan sehingga masih aman terkendali. Aku masih harus banyak mengotak-atik bila ingin tahu apa benar ada virus yang ditanamkan dalam pin. Harus dengan sangat hati-hati. Salah sedikit, semua buyar.

Avatar System: Brain GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang