Bab 1: Undangan

297 39 56
                                    

"Arennga V. Nata ...."

Aku terenyak ketika namaku dipanggil lewat pengeras suara. Ya, itu namaku. Arennga. Jangan sampai salah sebut. Dibaca A-renn-ga. Bukan A-ren-nga, atau A-reng-ga. Camkan itu baik-baik. Orang-orang sangat sering salah sebut saat pertama membaca namaku. Ingin panggilan yang lebih mudah? Ren. Selesai perkara.

"... Dimohon untuk semua nama yang telah dipanggil agar menghadap Wakil Kepala Sekolah Bidang Akademik di ruangannya saat istirahat pertama. Terima kasih."

Seisi kelas senyap mendengar pengumuman tersebut. Suara bisikan bergaung sesaat setelahnya, kemudian berhenti karena guru di depan kembali melanjutkan pelajaran. Aku kembali fokus. Hologram trimatra yang membentuk bentangan alam pegunungan kembali berputar di depan kelas.

Tepat saat bel istirahat pertama berbunyi, aku ke ruang Wakil Kepala Sekolah Bidang Akademik, sesuai dengan yang disampaikan saat pengumuman. Para siswa berhamburan di koridor mengiringi langkahku. Berseragam putih dengan dasi hitam. Berompi abu-abu. Celana dan rok panjang dengan warna hitam. Sepatu senada bawahan.

Mereka tertawa, meledek, saling bercanda. Di antaranya ada yang menyapaku, sisanya tak menghiraukan. Para siswi tersenyum sambil melambai, kubalas mereka—tanpa senyum. Para siswa yang cukup dekat denganku mengajak tos, aku menyambutnya. Setelah itu, aku jalan lagi.

"Arennga!" Suara yang kukenal; perempuan, cempreng, menyebalkan. Gadis itu berjalan mengiringiku. Rambut hitam kucir kudanya bergoyang saat menoleh. Ia harus menengadah ketika bicara karena kepalanya tidak sampai melebihi pundakku. "Kau tahu kenapa kita dipanggil?" tanyanya sok akrab.

Aku angkat bahu. "Mana kutahu," jawabku tanpa melihatnya.

Ruangan para guru termasuk Wakil Kepala Sekolah Bidang Akademik ada di gedung berbeda. Aku harus turun satu lantai, keluar melewati taman dengan berbagai macam bunga, masuk lagi dan naik ke lantai dua. Lorong dengan dinding putih dan tegel senada menyambut. Cahaya matahari pagi menyapa dari jendela-jendela mosaik bergaya renaisans, berpadu dengan bangunan futuristik.

Ruangan Wakil Kepala Sekolah Bidang Akademik berada di tengah, di dekat tangga menuju aula utama. Jendela-jendela dari ruangan lain yang tertutup menemani sepanjang jalan. Di antaranya ruang Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Wakil Kepala Sekolah Bidang Teknologi, dan masih ada beberapa lagi.

Tanganku baru akan mengetuk pintu yang kutuju ketika suara panggilan menghentikan.

"Hei, Kalian!" seru seseorang dengan riang sambil melambai. Laki-laki; tinggi, tegap, berambut pirang pendek belah pinggir. Chrys—lawan yang cukup sepadan. Dia datang dengan seorang gadis yang bertingkah malu-malu; selalu menunduk ketika jalan, tangan ditautkan di depan dada, dan kaki rapat ke dalam. "Ren! Chloe yang membara!"

Gadis di sampingku melambai. "Hai," sapanya sambil tersenyum lebar. Aku tidak menghiraukan mereka.

Kudengar samar-samar laki-laki itu bergumam, "Masih sombong seperti biasanya."

Kuketuk pintu di depan. Suara dari dalam menyahut. "Masuk." Pintu yang tadinya berwarna kelabu dengan bingkai metalik berubah menjadi transparan, lantas bergeser ke kanan. Aku ke dalam, yang lain mengekori.

Penghuni ruangan ini gila warna biru. Mulai dari cat dinding, tegel, sofa, dan berbagai macam furnitur modern yang lain. Hal yang membedakan hanya pada tanaman di sudut-sudut ruangan dan di atas meja tamu kaca dengan kaki dari kayu; monstera, spathiphylum, bunga sedap malam. Ada lemari kaca cokelat dengan berbagai piala berdiri gagah di belakangnya yang memberi kesan antik sendiri. Semua ditata apik sehingga tidak memberi kesan sesak.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Akademik tersenyum melihat kami datang. Dia mempersilakan kami duduk di sofa biru kelabu yang tak jauh dari meja kerjanya. Setelah menyelesaikan beberapa hal di komputer hologramnya, pria berambut tipis dengan uban menghias itu ikut duduk di sofa lebar di seberang kami.

Avatar System: Brain GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang