Chrys menghela napas berat. Dia menyandarkan punggung dan menutup wajah dengan kedua tangan.
Kusodorkan lagi roti bulat yang terbungkus plastik transparan. "Untukmu," aku mengulang penawaran lebih jelas. "Ambil kalau kau ingin berbaikan."
Anak itu mengintip dari balik jemari. Mata birunya kini semendung langit yang akan hujan. Ditambah ketiadaan cahaya mentari yang kini digantikan lampu-lampu neon, pancaran keceriaan di matanya kini sirna.
Kami memang tidak sedang bermusuhan, tetapi rasanya entah kenapa seperti itu dan aku yang jadi tokoh jahatnya, padahal Chrys yang suka menghindar dan kini bersikap dingin. Kalau dia memang butuh waktu dan berniat memaafkan dirinya sendiri lalu bergerak maju kemudian, dia tidak akan berlarut-larut seperti ini.
Ayo, ambil, Chrys, tanganku sudah pegal.
Perlahan, anak itu mengambil roti di tanganku dengan hati-hati seperti kuda yang meraup apel saat akan dijinakkan.
"Aku siap mendengarkan," kataku sambil menghela napas lega. Kumakan rotiku seraya meninjau kelap-kelip Kota Dvat.
Namun, Chrys tetap diam sembari memakan camilannya. Pipinya menggembung, matanya menatap nanar ke cakrawala.
Sunyi merambati kami. Hanya ada suara kunyahan yang menemani. Saat semua roti telah habis, Chrys baru bicara. "Maaf, kalau aku bersikap menyebalkan," katanya, "dan membuat kalian khawatir." Matanya mengunci lantai dengan sayu, jelas menghindari kontak mata denganku.
Alisku naik satu. Aku ingin menanggapinya dengan, "Syukurlah kalau kau sadar," tapi sekarang bukanlah waktunya berkelakar dan aku tidak yakin Chrys mau mendengar sebuah balasan. Aku tidak tahu anak itu tipe yang hanya butuh didengarkan atau perlu solusi juga. Jadi, aku memilih diam.
"Aku hanya ... tidak tahu harus bersikap bagaimana." Si anak pirang mencengkeram plastik bekas roti sampai berbunyi. "Semua itu salahku—"
Pikiran itu lagi. Aku ingin sekali mencengkeram lehernya dan berteriak sekencang mungkin di depan wajah Chrys bahwa itu bukan salah siapa-siapa. Kalau bisa, akan kubenturkan kepalanya sampai dia lupa bahwa dia pernah kecelakaan hingga berpikir bahwa kegagalan kami adalah karena tindakannya. Sayangnya, hal itu tidak boleh kulakukan atau keadaan akan jadi lebih buruk.
"Kalau aku tidak gegabah, kita mungkin sudah memenangkan fase tiga."
Tahan, tahan. Biarkan dia mengeluarkan semua keluh kesahnya. Jangan sampai keinginan untuk menghajar anak itu terealisasi.
"Kau tahu ... kadang aku merasa tidak pantas bersanding denganmu, atau Chloe," lanjutnya sambil mengangkat bahu. "Bahkan Mischa, dia punya keunggulan yang tidak kumiliki. Aku hanya seseorang yang kelewat hoki bisa sampai di sini."
Perasaan tidak layak. Impostor syndrome. Padahal sudah berusaha keras, tapi menganggap bahwa semua usahanya hanya keberuntungan belaka. Tidak menghargai diri sendiri.
Ada jeda panjang diiringi helaan napas berat. Chrys tidak berkata-kata lagi, membuatku berpikir ini adalah lampu hijau kalau aku ingin membalas.
"Chrys." Aku memegang bahunya lembut, mengesampingkan keinginan untuk menjatuhkannya dari rooftop. Mata anak itu memejam keras seperti bocah yang siap dipukul menggunakan sapu oleh orang tuanya. "Aku sudah bilang berulang kali kalau bukan salahmu kita tidak juara di fase ketiga. Kecelakaan tidak bisa diprediksi. Mungkin memang bukan takdirnya kita jadi juara di fase itu. Kau pun sudah berusaha keras, 'kan? Jika kau memaksakan diri saat itu, siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Kau bisa bayangkan?"
Kening Chrys mengerut dalam.
"Satu hal lagi." Aku mencengkeram bahunya lebih keras sampai dia meringis kecil. "Jangan pernah remehkan dirimu sendiri. Kau adalah juara tiga dari SeS. Bukan dengan keberuntungan kau bisa sampai di sini. Kau punya kualitas tersendiri yang tidak dimiliki Mischa, Chloe, bahkan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
Ficção CientíficaMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...