Aku dan Alva memulai garis start dari pinggir lapangan agak ke tengah agar tidak mengganggu anak-anak yang lain.
Aku dan bocah Alafathe itu saling berpandangan. Iris Alva yang biru gelap menyiratkan persaingan yang ketat. Matanya seolah mengatakan bahwa dia bisa saja memakai cara apa pun untuk menang. Tipikal seseorang yang keinginannya harus terpenuhi, tanpa penolakan.
"Kau siap?" tanyanya disertai senyum meremehkan. Aku tidak menjawabnya. Kufokuskan pandangan ke arah lintasan yang akan kami lalui.
Chrys dan Aryza yang jadi wasit. Kami bersiap. Wasit mulai memberi aba-aba.
3 ....
2 ....
1—
Sesuatu memelesat cepat di antara aku dan Alva.
"Ap—" Napasku tercekat.
"Whohoo, lihat aku, Kesatria Sombong!"
Chloe bergerak cepat berputar di atas kami. Gadis itu melakukan teknik yang belum tentu aku bisa; berputar, terbang vertikal, melayang miring. Aku dan Alva saling melihat sebelum menengok ke arah belakang di mana Chloe berasal, dan mendapati Olivia memasang wajah polos sambil mengangkat bahu.
Kepala Alva teleng menunjuk Chloe yang sedang melayang mengelilingi lapangan. "Pacarmu saja jago. Masa kau kalah?" sindirnya.
"Dia bukan pacarku!" Aku mendengkus. Mana sudi aku punya pacar seperti gadis konyol itu.
"Ho? Kukira." Sebelah alis si Bocah Alafathe naik sebelum wajah menjengkelkannya fokus ke depan.
Aku menatap Chrys agar segera memulai pertandinganku dan Alva.
Anak pirang itu dan Aryza berseru bersamaan. "Mulai!"
Aku dan Alva meluncur.
"Siapa yang sampai lebih dulu di garis mula dalam satu putaran menjadi pemenangnya," ujar Alva. Dia lantas menambah kecepatan.
Aku segera menyusulnya. Kucondongkan tubuh ke depan untuk membelah angin agar kecepatanku lebih optimal. Suasana di sekitarku seolah melambat saat aku melaju kencang. Lingkungan yang ada terasa terdistorsi.
Alva berhasil menukik di belokan pertama, tetapi aku akhirnya dapat menyamai kecepatannya. Anak itu tersenyum remeh. "Lihat siapa yang berhasil menyusul," katanya.
Kami baru akan saling menjatuhkan ketika seseorang terbang menginterupsi. "Halo, Para Pemuda. Keberatan kalau aku ikut pesta kalian?" Chloe dapat menyamai pergerakan kami. Gadis itu tersenyum sombong lantas menambah kecepatan. Sebelum berbelok di tikungan kedua, ia menyempatkan diri untuk mengejek kami dengan menjulurkan lidah dan memberi tanda dua L dengan jari telunjuk dan jempol.
Merasa diremehkan, aku dan Alva seolah melupakan kompetisi di antara kami dan mencoba untuk mengejar gadis itu. Chloe tepat berada di depan kami. Ia semakin menjengkelkan ketika terbang zig-zag dan tidak membiarkanku maupun Alva untuk menyusulnya.
"Berhenti mengganggu kami, Badut Konyol!" seruku kesal. Gadis itu terus saja menghalangi pergerakan kami. "Menyingkir!"
"Kalau begitu kalahkan aku!"
Ck. Menjengkelkan.
"Jangan hiraukan ia," Alva mengingatkan. Senyum culas masih terpatri jelas di wajah putihnya. "Lawanmu adalah aku."
Alva menambah kecepatan di tikungan terakhir. Dia berbelok seperti pembalap motor yang melakukan cornering. Aku sebisa mungkin menyusulnya. Kami saling kejar-mengejar sampai akhirnya sampai di tujuan akhir, melewati para pengadil yang menilai. Aku dan Alva berhenti dengan gaya dragging.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
Science FictionMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...