Aku memanggil Arthur, lalu menekan salah satu tombol. Sekat di sekitarku menebal menjadi putih, memberikan ilusi luas tak terbatas. Kata-kata melayang di depanku dengan dua tombol pilihan di bawahnya.
Apa kau siap?
Ya. Tidak
Ya.
Semua jendela antarmuka menghilang. Dari ketiadaan, butir-butir cahaya kuning keemasan berputar di satu titik sebelum akhirnya memadat. Semua kerlip itu membentuk sesosok hijau dengan kaki besar berkuku belah, tangan gempal memegang pentungan kayu sebesar orang dewasa, dada menonjol berperut buncit, dan muka sejelek babi hutan botak dengan cincin hidung. Semua kejelekannya hanya tertutup sepotong kain di antara selangkangannya.
"Dari semua jenis monster yang ada, mereka memilih monster template yang selalu ada di game fantasi." Aku berpaling pada Arthur. "Ayo, kita urus cepat. Ini akan mudah."
Si makhluk hijau menerjang. Arthur lekas menghunus pedang dengan tameng di depan tubuh. Makhluk kecil itu melompat ketika si monster menghantamkan senjatanya ke tanah tempat avatarku berdiri. Dengan satu sabetan, pedang Arthur mengoyak tengkuk si monster sampai menjerit.
Arthur melompat lagi dengan punggung lawannya sebagai pijakan. Si monster menghalau Arthur dengan pentungannya, tetapi avatarku menangkis dengan tameng dan pedang. Bentuk kecil diriku meloncat mengelak serangan, lalu dengan satu tolakan seperti pegas, dia memenggal lawannya dengan satu ayunan melengkung.
Makhluk hijau itu terbuyar dan menghilang jadi cahaya. Angka di papan skor di atas pun bertambah.
Ronde kedua langsung kuterima begitu pemberitahuan muncul. Kali ini, seekor manusia berkepala banteng berwarna cokelat gelap dengan bersenjatakan golok. Arthur dan aku langsung menghadapinya. Seperti sebelumnya, monster ini dan monster-monster selanjutnya dapat kukalahkan dengan cepat.
Namun, saat ronde mencapai dua digit, otakku mulai terbebani. Nilai mungkin makin besar, tetapi level monster juga semakin tinggi dan sulit. Aku tidak bisa lagi hanya diam seperti di level awal. Monster-monster digital memaksaku bergerak untuk mengambil sudut pandang dan titik buta yang aman untuk mengatur strategi.
"Aku akan istirahat sebentar." Aku duduk bersila dan mengatur napas sestabil mungkin. Kupijat kening dan pangkal hidung untuk meredakan sakit kepala.
Arthur menghampiri dan menyandarkan kepalanya pada lenganku.
Waktu terus berjalan dan aku tidak tahu orang lain sudah sampai mana. Akan buruk bila aku tertinggal. Kuputuskan untuk lanjut meskipun kepalaku masih terasa sakit.
Aku berdiri, lantas menekan tombol untuk lanjut ke level selanjutnya. Monster baru muncul. Seekor rubah penuh otot sebesar gajah dengan ekor sembilan yang melecut-lecut bagai tentakel.
Makhluk itu melolong keras sampai telingaku sakit. Ekornya lantas menghunus seperti mata tombak yang diikat pada tali. Arthur melompat menghindar sebelum dirinya hancur selayaknya tanah yang dia pijak sebelumnya. Dengan tameng dan pedang yang diayun-ayunkan, avatarku menahan setiap serangan ekor yang datang.
Aku memberikannya Excalibur. Arthur langsung menerjang menggunakan ekor-ekor yang datang sebagai pijakan. Si rubah melecut-lecutkan ekornya sampai Arthur terlempar menabrak penghalang. Hewan buas itu melolong keras menyebabkan gelombang yang mendorong hingga penghalang yang melindungiku rasanya bergerak.
Di tempat sekosong ini, tidak ada apa pun yang dapat dijadikan perlindungan. Meskipun begitu, aku tetap berlari menghindar agar tidak terkena pengaruh serangannya. Arthur di sisi lain, masih berusaha berdiri dan berlindung di balik tamengnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
Science FictionMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...