Setelah sarapan bersama, semua tim menuju lokasi latihan yang ada di pusat kota. Masing-masing perwakilan memiliki kendaraannya sendiri. Kami diantar dengan mobil yang sama dengan yang menjemput dari bandara. Pak Alvin yang menjadi sopir kami kembali.
"Untuk sekarang dan seterusnya, Bapak yang akan menjadi sopir pribadi kalian," katanya diiringi tawa ringan.
Chrys menyeletuk (yang menurutku cukup sensitif), "Bapak seorang Alafathe, apa kekuatan Bapak kalau boleh tahu?"
"Precogniton. Bapak bisa tahu kalau di jalan nanti kita pasti bakal kena macet," kelakarnya.
"Woah, Esper," sahut Chloe sambil bertepuk tangan pelan.
Aku melihat ke jalanan. Kendaraan besar, kecil, ramping, berlalu-lalang memenuhi jalanan. "Sepertinya tanpa kekuatan itu juga aku bakal tahu," tukasku.
Chrys memukul bahuku. Chloe mengatai kalau aku hanya iri. Aku tidak menghiraukan mereka. Pak Ben melerai dan berakhir dengan kesia-siaan. Mischa hanya melihat dalam diam sambil sesekali tersenyum. Selanjutnya duo berisik itu lanjut membayangkan betapa kerennya bisa meramal masa depan.
Aku jadi teringat sepasang Alafathe yang pertama kali kutemui, Olivia dan Alva. Apa kekuatan mereka? Apa mereka ancaman? Haruskah aku khawatir? Ini memang hanya pertandingan persahabatan, tetapi sesuatu yang salah terus menghantuiku. Semua pikiran tentang kemungkinan apa yang bisa terjadi terus berputar sampai aku tidak sadar sudah melewati taman kota, kemacetan perempatan, dan keluhan Chrys betapa panasnya isi mobil.
"Kau akan berubah dari emas menjadi cokelat," sindirku pada lelaki itu yang tengah mengipas-ngipas leher. Bahkan AC yang telah dinyalakan masih tetap tidak bisa mendinginkan suasana.
"Dan kau akan meleleh seperti gula kemarin—"
Aku memelototinya. Dia seketika diam. Bisa-bisanya dia mengungkit sesuatu yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.
Tempat latihan kami berada di sebuah gedung berbentuk stadion sepak bola. Infinite Stadium. Nyatanya, itu adalah gedung olahraga serbaguna yang memiliki luas tiga kali lipat lapangan sepak bola (heran kenapa aku bisa tahu?). Atapnya terbuat dari kaca dengan kisi-kisi berbentuk heksagonal melengkung. Jika dilihat lebih teliti, atap itu membentuk seperti gelombang yang naik turun. Kalau dilihat dari jauh dengan sudut yang tepat dalam garis lurus, atap itu akan membentuk pola lambang tak terbatas—∞—yang menjadi asal namanya.
Sebelum kami memulai latihan, semua tim dikumpulkan terlebih dahulu dalam sebuah ruangan seperti aula dengan kursi-kursi berjajar yang disusun melengkung dan layar proyektor. Kami akan mendapat pengenalan singkat yang disampaikan oleh para pembimbing dari masing-masing perwakilan.
Kami disuruh menunggu sambil mereka menyiapkan segala hal.
Manusia itu makhluk sosial. Tanpa diperintah pun, orang-orang akan berkumpul dengan sesama mereka. Kami di area kiri, Ascent di tengah, Canidae di kanan. Chrys masih berusaha mendekati Olivia. Dia sengaja mengambil kursi di dekatnya agar bisa ada alasan mengobrol.
"Katakan, Oliv, apa kau sudah ada yang punya?" tanya Chrys sambil menopang dagu. Olivia hanya tersenyum. Aku menggeleng tak percaya. Bisa-bisanya dia berlaku seperti itu.
"Belum," jawab gadis itu singkat.
"Dari para laki-laki ganteng yang ada di sini, siapa yang akan kau pilih?" pancing Chrys.
Olivia menggeser tubuhnya sedikit sampai bisa melihatku. Mata kami bertemu. Dia tersenyum. Seketika sebuah rasa menyengat menjalar di kepalaku. Aku langsung memalingkan pandangan.
Apa itu? Serangan mental?
"Arennga? Serius?" Chrys bertanya seolah aku tidak pantas mendapatkan siapa pun. "Dia itu seperti bongkahan es. Lebih baik memilih yang sudah pasti saja." Lelaki itu melanjutkan seolah aku tidak ada. Obrolannya dengan Olivia tidak aku ikuti lebih jauh karena ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
FantascienzaMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...