Bab 19: Evolusi Pengetahuan

45 8 0
                                    

Insiden mati listrik itu hanya berlangsung kurang lebih lima menit. Setelah semua kembali menyala, kami dikumpulkan kembali di depan alat peraga simulasi trimatra. Para pengunjung lain ada yang telah bubar, ada pula yang melihat alat-alat lain.

"Maaf atas ketidaknyamanannya," ujar Pak Xavier yang telah kembali setelah menangani situasi sebelumnya. "Ada sesuatu yang meledak di belakang sana karena tidak tahan dengan simulasi tadi."

Bisik-bisik mendengung kemudian senyap kembali.

"Ayo, Anak-anak, kita lanjut. Semoga alat yang lainnya sudah bisa dipakai kembali."

Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Tiga alat peraga yang kami datangi belum bisa menyala sepenuhnya. Teknisi yang ada mengatakan hal yang sama: perlu waktu untuk membuat beberapa mesin kembali stabil setelah sumber daya diputus paksa. Pak Xavier bahkan sedikit histeris saat menerima telepon. Sesekali dia melirik kami.

"Tidak perlu merasa bersalah. Ini bukan karenamu," Chrys berbisik. Aku langsung menghadapnya dan mendapati wajah yang mengulas senyum tipis menyebalkan. "Semua akan baik-baik saja."

Idih. "Memang ini bukan salahku," timpalku seraya mengerling. Mesinnya saja yang tidak tahan. Lagi pula kenapa Pak Xavier sok pamer segala—maksudku ini memang gedung untuk pameran, tetapi tidak perlu sampai seperti itu. Simulasi sederhana yang sering diperlihatkan di sini tidak sebanding dengan simulasi yang ada di Stadion Infinite. Terlihat dari simulasi timelapse sebelumnya.

Pak Xavier akhirnya memutuskan berdiskusi dengan para guru pembimbing. Setelah beberapa menit, mereka sampai pada sebuah keputusan.

"Karena ada masalah sedikit, kita akan istirahat lebih cepat," kata Bu Eva.

Aku langsung melihat jam digital di tangan kiri. Pukul sebelas kurang. Masih terhitung pagi.

"Kalian silakan istirahat. Boleh makan di kantin yang ada, melihat-lihat, atau apa saja. Nanti kumpul lagi di sini sekitar pukul satu siang," sambung Bu Eva. "Semoga peralatannya sudah betul semua."

Aku mendesah kecewa. Seharusnya "tur" di sini lebih lama dan interaktif. Bisa jadi ini adalah latihan yang paling penting di fase dua ini.

"Kau mau langsung ke kantin atau ada rencana lain, Ren?" tanya Chrys.

Aku menimbang sebentar. Sepertinya masih ada waktu untuk melihat-lihat. Lagi pula perutku masih terisi dengan sarapan tadi.

"Kau duluan saja kalau mau ke kantin," sahutku.

"Kau mau ke mana memangnya? Mau kutemani?" tawar Chrys.

Aku mengangkat satu alis. "Yakin?"

"Tenang saja. Aku tidak akan berbuat aneh-aneh. Betulan." Chrys menyilangkan telunjuk dan jari tengahnya.

"Bagaimana dengan Chloe dan Mischa?" tanyaku.

"Cha! Chlo! Kalian mau ikut kami tidak?" Chrys setengah berteriak karena kedua gadis itu sudah agak jauh dari kami.

"Chrys, pelankan suaramu. Kita bukan sedang di hutan," tegurku jengah. "Kau buat malu saja."

Anak itu hanya cengengesan sambil memegang belakang kepalanya.

"Ke mana?" pekik Chloe tertahan.

Chrys menatapku. "Ke mana?"

"Berkeliling, melihat-lihat, mungkin saja ada yang menarik," sahutku. Dia kemudian berteriak lagi sambil mengatakan tujuanku. Aku menepak kepalanya.

"Aw ... Ren, sakiiiit," rintih si Anak Pirang sambil memegang belakang kepala, lagi.

Aku tidak menghiraukan Chrys dan langsung pergi berkeliling.

Avatar System: Brain GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang