Aku kembali menganalisis soal, melihat pertanyaan apa saja yang bisa dikerjakan di area setelah keruntuhan Kerajaan Zulmat ini.
"Soalnya beranak," keluh Chrys. "Aku tidak yakin kita bisa menyelesaikannya sebelum pukul sebelas."
"Yakinlah," timpalku. "Jangan kalah sebelum berperang."
Aku sesekali menengok diorama-diorama yang ada lantas kembali ke pertanyaan. Kusipitkan mata untuk melihat diorama itu secara detail lalu kembali ke soal lagi.
"Kau malah membuat ini semakin lama!" protes Chloe. Ia mengambil paksa kertas dari tanganku. "Sini!"
"Woy!" Aku balik protes. Kuambil kembali kumpulan soal itu.
"Begini saja," geram Chloe, suaranya meledak kemudian, "kenapa kita tidak berpencar saja seperti yang lain dari awal?!"
Aku melindungi tubuh dengan tangan dari air liurnya yang muncrat-muncrat, Chrys dan Mischa mundur beberapa langkah.
"Berikan." Gadis itu langsung merebut lagi kertas di tanganku dan memfotonya. Ia melakukan sesuatu dengan ponselnya. Sesaat kemudian, Chrys dan Mischa memeriksa geniusphone mereka. Gadis itu menghadap kedua orang di belakangnya. "Aku sudah mengirimkan fotonya pada kalian," katanya pada Chrys dan Mischa, tanpa memedulikanku yang jengkel karena tingkahnya.
"Kita bagi tugas. Kesatria, kau nomor 2-9. Aku nomor 10-16. Chrys nomor 17-23. Mischa 24-30." Gadis itu menunjuk nomor dari atas sampai bawah. "Aku sudah membaginya sesuai nama. Ada yang keberatan?"
"Dan aku mendapat delapan nomor," ujarku.
"Itu karena kau ketuanya! Ah, sudahlah!" Ia menepak kertas soal itu ke dadaku. "Nih!"
Aku membaca ulang pertanyaan-pertanyaan itu yang kini kertasnya sudah agak lecak.
"Aku pergi," ucap Chloe sambil lalu. Ia mengarah ke salah satu diorama sebelum pergi ke pintu yang berlawanan dari pintu masuk.
"Aku juga pergi!" Chrys berbalik, tetapi sesaat kemudian dia kembali. "Nanti kita berkumpul di mana?"
"Di sebelah kanan patung Sang Hyang Adiwidya, pukul sebelas tepat," tegasku.
"Oke," jawab Chrys sambil tersenyum. Jari telunjuk dan jempolnya membentuk lingkaran. Mischa yang ada di sebelahnya hanya mengangguk kemudian pergi juga.
Aku memberi pesan ke grup obrolan untuk pengingat.
Sekarang, tinggal aku sendiri.
Kulihat sekali lagi soal nomor 2-9 yang kebanyakan menanyakan tentang awal-awal peradaban. Tanpa membuang lebih banyak waktu lagi, aku segera kembali ke ruangan kepurbakalaan dan berkeliling mencari tempat-tempat yang menjadi jawaban.
Tiga nomor tentang tata cara penguburan kuno, perburuan dan pertanian zaman dahulu, serta awal mula ditemukannya tulisan kukerjakan dengan cukup mudah. Diorama-diorama hologram yang ada tampil interaktif. Mereka bergerak ketika ada orang yang melewati sensor di depannya. Contohnya ketika aku berdiri di hadapan diorama orang-orang yang bersiap untuk upacara kematian zaman batu. Mereka secara hati-hati memasukkan jasad ke dalam kubur batu (sarkofagus) dalam posisi meringkuk seperti bayi dalam kandungan sebagai simbol kembalinya jasad ke perut Ibu Alam. Tidak lupa dengan bunga-bunga dan bekal kubur untuk menemani si Mati di alam selanjutnya, begitu kata salah satu hologram yang menjadi narator.
Sama halnya dengan diorama perburuan dan pertanian. Latar tempat diceritakan bagai dongeng. Hewan-hewan hutan yang awalnya damai berlarian saat pemburu datang menggunakan tombak, kapak genggam, dan panah. Para pemburu kemudian kembali melewati ladang yang ditumbuhi gandum dan jelai. Narasi si pemburu dan petani mengatakan kalau hasil buruan dan tanaman pertanian akan berbeda sesuai dengan kondisi alam dan topografi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
Science FictionMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...