Fase kedua akhirnya tiba. Ketiga tim memasuki arena dari tiga sisi yang berbeda. Magna Prudentia dari kiri, Prima Sophia dari tengah, Scienta et Social dari kanan. Seiring kami yang berjalan menuruni tangga, riuh suara penonton menggema di seantero stadion. Menggunakan pakaian olahraga masing-masing sekolah, dan strap di kedua sisi paha dengan botol minuman yang terikat, kami bersiap di posisi yang telah ditentukan.
"Selamat datang, Semua!" Suara Pembawa Acara bergaung seperti berasal dari langit. "Kali ini, para Anak-Anak Genius harus menyelesaikan teka-teki di dalam bangunan-bangunan ikonik dunia dengan teknologi yang menjadi ciri khas peradaban/kebudayaan/kerajaan tertentu. Dengan waktu yang sedikit dan kemungkinan keluarnya sesuatu yang tidak diinginkan jika kalah, apakah mereka bisa bertahan dan menjadi pemenang? Tanpa perlu basa-basi lagi, kita tentukan sekarang! Arena, set!"
Bersamaan dengan pekik Pembawa Acara dan penonton yang semakin beringas, cahaya menyilaukan membanjiri stadion. Lapangan sepak bola seketika berubah.
Dataran yang berbeda-beda terhampar sepanjang mata memandang. Rerumputan, padang pasir, tanah berbatu, hutan. Jenis pepohonannya menyesuaikan dengan tiap-tiap hamparan. Bangunan-bangunan ikonik dari berbagai peradaban dan kebudayaan berdiri mengikuti ekosistem yang ada. Piramida-piramida berbagai bentuk, pagoda, kuil, dan yang lainnya. Bangunan-bangunan ikonik yang jauh bagai siluet di latar belakang. Dan awannya ... awannya terasa lembut seperti permen kapas.
Tempat ini layaknya alam mimpi atau seperti lukisan yang cukup surealis karena semua warna dan bentuk saling bersatu padu.
"Indah ...," bisik Chloe. Matanya berbinar penuh rasa takjub.
"Keren." Chrys tidak kalah terpukau.
Mischa hanya diam dengan mulut membulat.
"Apa yang kau lakukan, Ren?" tanya si Anak Pirang ketika aku menunjuk bangunan-bangunan yang ada.
"Mengukur jarak," jawabku.
"Oh, apa itu seperti pelaut dengan bintang-bintang?" sahut Chloe dengan nada mengejek.
"Wah, Chlo, kau tahu yang seperti itu? Kau bisa melakukannya?"
Chloe hanya tersenyum dengan dagu terangkat sambil melipat tangan di depan dada; membuatku malas melihatnya.
Rasa kagum kami pun harus terhenti karena suara dari langit yang menginterupsi.
"Semua peserta, bersiap!"
Kami mengeluarkan avatar masing-masing.
"Kita akan mulai dalam—"
Hitung mundur di langit muncul disertai bel penanda yang berbunyi.
"Tiga!"
Aku menandai lokasi pertama yang akan kami datangi.
"Dua!"
Badan agak bungkuk, kaki menekuk. Kusiapkan kuda-kuda untuk berlari.
"Satu!"
Aku memelesat. Kutuju bangunan berbentuk pagoda karena itu yang paling dekat.
"Ayo, cepat!" perintahku. Jangan sampai mereka hilang arah dan membuat kekalahan semakin dekat.
Rumput-rumput di bawah kami berganti menjadi lantai bebatuan persegi. Semakin dekat dengan kompleks bangunan, pagoda gemuk berlantai tiga itu semakin jelas. Kami baru benar-benar masuk ke pelatarannya ketika melewati gapura khas arsitektur Timur dengan lawang berbentuk lingkaran. Dikenal sebagai Kuil Surga, bangunan dari negeri Sinensia itu memiliki atap biru dan cat dinding merah.
Tiga tingkatan teras bertegel putih kami lewati supaya bisa ke depan pintu besar ganda Kuil Surga. Aku langsung menyuruh Chrys untuk membantu mendorong pintu berukir naga tersebut. Derak benda besar bergeser bergaung seiring kami mengerahkan tenaga sekuat mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
Science FictionMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...