Bab 35

10 4 0
                                    

Lagi-lagi, aku gagal.

Kristal oktahedron di tangan Alva pecah. Atmosfer tiba-tiba berubah. Menara di bawahnya bergetar, diiringi datangnya awan hitam yang menggulung. Alva lekas kembali ke antara teman-temannya di tengah lapangan bersamaan dengan menara batu yang runtuh; membuat debu-debu yang membutakan mata beterbangan ke segala arah.

Penonton di tribune berteriak kaget.

Tanah lapangan lantas merekah. Keluarlah gumpalan raksasa dari dalam bumi, bagai bola meriam yang ditembakkan ke angkasa. Makhluk itu berhenti meluncur tatkala sepasang sayap elang cokelat muncul, diiringi sebuah ekor, empat pasang tungkai bercakar seperti milik singa, dan sesosok wajah wanita berambut panjang dengan mahkota dahi yang cantik jelita. Sang Sfinks. Monster sebesar rumah dua lantai.

Kami terpana, dan bagaikan sedang menyaksikan para tokoh utama bersiap mengalahkan bos terakhir dalam sebuah video game, musik orkestra dengan nuansa mengintimidasi pun mengalun.

Para hadirin berseru kegirangan. Namun, Alva dan kawan-kawan bersiaga penuh ketegangan.

"Aku jamin, kalau panitia mau membuat OST untuk setiap monster yang kita lawan segini bagusnya, mereka pasti akan untung banyak kalau menjual albumnya setelah kompetisi ini usai," komentar Chloe. Aku melihatnya sekilas. Anehnya tidak ada kekesalan dalam air mukanya, tidak seperti Chrys yang sedari tadi menonton dengan mata seperti anjing habis dimarahi dengan kening menekuk.

Padahal aku sudah bilang pada Chrys kalau itu bukan salah siapa-siapa. Tidak ada pula yang bisa kami lakukan saat ini, selain menonton.

Tempo musik meningkat. Sang Sfinks menjerit. Sayap makhluk itu mengepak cepat, lantas menukik menuju lawannya dengan cakar yang menghunus. Alva, Olivia, Zea, dan Aryza menghindar.

Prima Sophia membalas. Loki di punggung majikannya menyerang dengan lecutan-lecutan angin sambil menjulurkan tongkat sihir. Sementara itu, Vivian di kaki Zea mengangkat kedua tangannya bergantian, memunculkan jarum-jarum es dari dalam tanah. Tidak ada yang kena karena si Sfinks mengelak seperti bor; memunculkan penghalang angin yang langsung menghancurkan apa pun. Namun, serangan gabungan listrik Merlin dan tombak logam Freya berhasil menembus pertahanan makhluk itu di saat-saat terakhir, membuatnya menjerit kesakitan.

Teriakan orang-orang menggema. Terdengar tepuk tangan yang bersahutan.

"Menurutmu, berapa waktu yang dibutuhkan mereka untuk mengalahkan si Bos?" tanya Chloe. Aku melirik kembali gadis itu. Tumben sekali dia tidak sewot dengan lawan bicaranya, yaitu aku.

"Kau mau taruhan atau apa?" tanyaku balik. Pertarungan di depan sedang seru-serunya, aku tidak boleh melewatkannya sedetik pun.

"Aku cuma tanya," jawab Chloe ketus. Mungkin tidak seharusnya aku membalas demikian ketika dia ingin—mungkin—berbaikan kembali denganku.

"Kurang dari 15 menit mungkin," balasku pada akhirnya.

"Kita lihat dalam setengah jam," timpal gadis itu bersedekap.

Aku ingin rasanya bergabung dengan Tim Ascent dan menghajar Sfinks itu sampai musnah. Katanya tidak mau taruhan ...?

Hit point sang Sfinks baru berkurang sepertiga. Melihat dari jalannya pertarungan, bisa saja waktunya tidak perlu lama, skill ultimate keempat orang itu pun belum keluar. Aku jadi berpikir, apa bos terakhir itu tidak terlalu kuat?

Tempo musik berjalan cepat seiring si makhluk hibrida digital mengelak gesit dari jurus-jurus yang dikeluarkan Alva dkk. Vivian Zea membentuk dinding-dinding es biru dengan ketinggian yang acak. Dari pengamatanku, dinding itu tidak dimaksudkan untuk mengurung ataupun untuk memperlambat pergerakan. Di sisi lain, Freya milik Olivia dengan baju zirah perak mengeluarkan rangkaian pedang yang membentuk kipas. Makhluk kecil itu berlari di sepanjang dinding dan melemparkan pedang-pedangnya ke arah sang Sfinks yang sedang sibuk mengelak jarum-jarum es Vivian.

Avatar System: Brain GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang