Setelah tiga hari latihan yang melelahkan, akhirnya kami mendapat waktu rehat sehari penuh sebelum perlombaan besoknya seperti biasa. Aku memilih istirahat di hotel, menikmati setiap fasilitas yang bisa kudapatkan. Sementara itu, Chrys mengajak Olivia berkencan karena terpengaruh kata-kataku kemarin. Untungnya gadis itu mau-mau saja diajak jalan-jalan. Di sisi lain, Chloe dan Mischa bepergian ke kota. Mungkin mereka ingin belanja atau cuci mata. Aku tidak peduli.
Setelah selesai sarapan, fasilitas hotel pertama yang kunikmati adalah pemandian air panas. terletak di dalam ruangan dekat kolam renang yang terhalang oleh taman dengan kursi-kursi dan meja piknik berpayung.
Aku harus melewati lorong dengan lantai kayu terlebih dahulu di mana aku harus melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal. Ada tempat penitipan barang di depan dengan seorang petugas di balik meja kayu resepsionis panjang. Di ruang berikutnya, terdapat kolam air panas yang sepi dan tempat berganti pakaian di sisi kanan.
Hangat menjalar lembut saat kakiku menyentuh air. Kenyamanan menerpa saat aku tenggelam dari air panas. Untuk sesaat rasa penat di kepala dan pegal otot di seluruh tubuh hilang seketika. Ditambah ruangan yang sepi, menjadikan tempat ini serasa milikku seorang. Sudah lama sekali aku tidak merasakan hal yang seperti ini. Malah sepertinya, aku lupa kapan terakhir menikmati berendam air panas.
Namun, waktu santaiku harus terganggu saat dering panggilan masuk berbunyi. Aku buru-buru beranjak dengan air yang masih menetes-netes ke lantai dan mendekati keranjang pakaian tempat aku menaruh ponsel. Nama Chloe tertera di layar.
Untuk apa gadis itu mengganggu waktu santaiku?
"Halo—"
"Arennga, Mischa hilang!" Chloe berseru panik.
Jantungku mencelos.
"Hilang bagaimana?!" tanyaku tak mengerti. Apa dia tersesat? Bukankah mereka tadi pergi berdua?
"Ya, hilang! Aku tadi pergi melihat-lihat di etalase pakaian. Aku masuk sebentar ke toko, lalu baru kusadari kalau Mischa tidak di dekatku! Ponselnya mati kalau kau mau tahu."
Aku berdecak. "Aku akan hubungi Pak Ben—"
"Tidak, tunggu, jangan!" seru gadis itu. "Kalau para pembimbing tahu, akan jadi masalah! Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Cepat bantu aku cari ia!"
"Ck, baiklah! Kau sudah beri tahu Chrys belum?"
"Belum, aku akan memberitahunya setelah ini."
"Kalian cari lagi sampai ketemu. Aku akan mencoba melacak ponselnya. Semoga saja masih bisa," harapku. "Di mana kalian terakhir bertemu?"
"Kau tuli atau apa? Aku baru saja menyebutkannya! Di toko pakaian!" Chloe kemudian menyebutkan detail nama tempatnya dan jalannya. "Cepatlah. Aku mengandalkanmu."
Sambungan pun ditutup.
Aku segera mengeringkan tubuh lantas berpakaian. Buru-buru aku ke kamar untuk mengambil jaket terlebih dahulu untuk penyamaran, meskipun mungkin saja sia-sia. Untungnya, tidak ada Pak Ben atau aku akan dicurigai kenapa aku sampai tergesa-gesa seperti ini. Aku yakin guru pembimbing kami itu adalah tipe orang yang bisa membaca kebohongan seseorang dari gerak-geriknya.
Ponsel, dompet, dan apalagi yang harus kubawa?
Aku bergegas turun ke lobi dan memberitahukan kepergianku pada resepsionis. "Ke toko pakaian," laporku, setengah jujur; informasi apabila Pak Ben dan orang lainnya mencariku.
Aku lekas ke toko pakaian yang Chloe sebutkan dengan naik bus. (Bagaimana aku membayar? Untungnya kartu uang digital yang kumiliki bisa dikonversi ke mata uang Ascent.) Sepanjang perjalanan aku terus melihat ke jalan berharap menemukan gadis pendek berambut sebahu kecokelatan sedang berjalan pulang. Namun, harapan tinggal harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
Fiksi IlmiahMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...