Perhatian: Cerita ini hanya dirilis di platform W A T T P A D.
...
"Ren ...."
"Arennga!"
Aku terenyak dari lamunan. Kukerjapkan mata beberapa kali untuk mengumpulkan kesadaran. Chloe dan Chrys berjongkok di hadapanku, Mischa di belakang mereka berdiri dengan tangan bertaut. Semua teman-temanku berwajah khawatir.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Chrys. Dia memegang bahuku lembut.
Aku menyingkirkan tangannya sebelum memijat pelipis yang berkedut. Setelah cukup istirahat, aku berdiri lantas mengecek status. Tersisa dua puluh lima soal yang harus dikerjakan. Luas peta yang terjelajahi baru 50%. Masih banyak yang harus dikerjakan.
"Ayo," ajakku.
"Kau yakin, Ren? Kita bisa istirahat sebentar lagi kalau kau mau—"
"Kita bisa saja tertinggal jauh!" bentakku. Aku mengembuskan napas untuk menenangkan emosi yang tiba-tiba melonjak.
Chloe memicing. "Hei, tenanglah! Ini bukan akhir kalaupun kita kalah di tahap ini!"
"Kubilang, 'Ayo!' Jangan membantah."
Gadis itu berdecak.
Chrys berbisik, "Mungkin dia tertekan karena sesuatu. Kau tahu, 'kan, dia selalu dituntut jadi yang terbaik—"
"Aku dengar itu."
Si Anak Pirang langsung bungkam.
Kami keluar dari persembunyian dengan mengendap-endap, waspada apabila ada serangan musuh. Bergerak di antara gedung-gedung seperti gerilya. Sesekali kutengok sekitar memastikan tidak ada ancaman yang berarti.
Dengan masih memperhatikan lingkungan, kami mengerjakan soal-soal dengan tetap hati-hati. Seiring pergerakan kami, bangunan-bangunan yang ada mengalami perubahan. Arsitektur yang cenderung lebih modern menandakan kami telah bergerak ke area yang berbeda.
Suasana yang ada pun terasa berubah 180 derajat. Jika pada area sebelumnya seperti malam, di sini, cahaya bersinar terang layaknya siang. Hangat menyelimuti kulit. Berkas-berkas sinar mentari menembus dedaunan pohon yang tumbuh di setiap rumah yang berjajar. Bangunan-bangunan tinggi menyusut menjadi rangkaian perumahan elite dengan taman-taman berbunga yang menghias. Cat putih yang seragam, rumput hijau yang tingginya rata, pagar pengaman berjeruji melindungi dari ancaman.
Orang-orang digital berlalu-lalang membuat tempat ini lebih hidup. Orang tua, pemuda, anak-anak. Anjing menyalak. Kucing mengeong. Suara kendaraan yang sedang dipanaskan terdengar di kejauhan.
Penanda-penanda soal bertebaran di sekitar mereka, di atas pohon, di atas atap, di tempat tak tergapai.
"Kita akan mulai dari mana?" tanya Chrys. "Pilihannya terlalu banyak seperti di toserba."
Aku menganalisis setiap tempat; memprediksi setiap kemungkinan soal yang sulit berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah kami kerjakan sebelumnya. Setelah yakin, kupilih soal yang akan kami eksekusi.
Karena aku malas menghadapi orang—meskipun itu hanya sebuah orang digital—aku memilih untuk mengerjakan soal tentang kucing. Pertanyaan itu menggiringku untuk menerjemahkan bahasa kucing yang dianalisis menggunakan frekuensi suara yang digambarkan menjadi gelombang dengan bukit dan lembah. Ada preset untuk beberapa terjemahan tertentu, tetapi saking kompleksnya gelombang yang dihasilkan, sedikit kesalahan ketinggian bukit dan kedalaman lembah menghasilkan terjemahan yang berbeda. Konsekuensi atas kesalahanku: Nekomata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
Science FictionMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...