Hari Selasa, minggu ketiga penyelenggaraan olimpiade. Ruang aula serbaguna Hotel Pharah, Kota Dvat, Ascent. Pukul 08.00 waktu setempat.
"Selamat datang di latihan fase ketiga!" Bu Eva berkata lantang dari arah tengah. Guru pembimbing dari Ascent itu menunjuk salah satu tim di sisi kanan. "Ibu ucapkan selamat kepada tim Magna Prudentia yang berhasil menjadi urutan pertama di babak sebelumnya."
Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan sampai Bu Eva mengangkat satu jarinya.
"Akan tetapi ingat, perjalanan masih panjang. Jangan dulu terlena dengan kemenangan semu karena masih ada tim lain yang siap menyalip," katanya sambil melihat ke arah kiri pada tim Prima Sophia, lalu ke tengah pada kami.
"Hari ini, kita akan belajar tentang bahasa. Karena sebagai ilmuwan, penting untuk kita agar bisa mengemukakan hasil penelitian ke publik untuk kepentingan masyarakat luas. Kita harus bisa berkomunikasi baik dari segi lisan maupun tulisan. Tidak boleh ada kesalahpahaman yang terjadi sehingga menimbulkan mitos atau hoax baru yang tidak bertanggung jawab," lanjut Bu Eva. "Bahasa yang akan kita bahas hari ini adalah Bahasa Ensia sebagai bahasa internasional." Ia kemudian menyerahkan materi kepada Pak Oxa.
Sang Guru Pembimbing dari Canidae itu berjalan ke tengah menggantikan Bu Eva, sementara Bu Eva sendiri kembali ke tempat duduknya di sebelah kiri. Pak Oxa kemudian memencet tombol dari remote control di tangannya. Sebuah layar putih muncul memperlihatkan contoh susunan kalimat dengan penanda di setiap kata.
Pak Oxa membetulkan letak kacamatanya sebelum buka suara. "Dalam mengemukakan penelitiannya, ilmuwan dituntut pertama kali menuliskannya dalam sebuah jurnal penelitian, paper, prosiding, dan masih banyak lagi. Karya ilmiah ini harus memiliki bahasa yang lugas, tidak ambigu, dan jelas ...."
"Sangat membosankan," bisik Chrys. Anak itu menumpu pipi dengan satu tangan. "Apa waktu tidak bisa dipercepat ke saat yang lebih seru?"
Aku mengangkat satu alis. Dia ada benarnya.
Karena aku kasihan kepada Chrys serta untuk menghindari sesi ini berubah seperti buku pelajaran yang menjemukan, sebaiknya kita percepat ke saat Pak Ben memberitahukan apa yang harus kami lakukan di latihan kali ini.
"Logika diperlukan untuk membuat sebuah kalimat menjadi mudah dibaca dan dimengerti, tidak rancu, serta jelas subjek dan objeknya. Oleh karena itu, untuk mengasah kecakapan kalian dalam analisis dan logika, kita akan memakai ...," Pak Ben menggantungkan kalimatnya seperti biasa untuk menimbulkan efek dramatis. Dia mengatupkan kedua telapak tangan seolah jawabannya ada di dalam sana. "... riddle!" lanjutnya sambil membuka tangannya yang tertangkup seperti pesulap yang mengeluarkan burung dara. Tidak ada apa-apa di sana, tentu saja. Apa yang kau harapkan?
"Hah?" Kebanyakan dari kami heran.
"Riddle?" Sebagian dari kami bingung.
"Wah, aku suka ini!" Sebagiannya lagi antusias.
"Mereka bercanda," gumamku. Aku tidak percaya perlombaan sekelas olimpiade yang melibatkan tiga negara akan mengandalkan teka-teki—yang mungkin tidak ada unsur ilmiahnya dan biasanya hanya misteri—ada dalam prosesnya. Aku tidak habis pikir. "Menggelikan."
"Ayolah, Ren. Setidaknya kita bisa menikmati perlombaan ini setelah apa yang terjadi sebelumnya," hibur Chrys.
"Jangan dianggap remeh. Kebanyakan kalian bahkan mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini." Bu Eva bangkit berdiri, berjalan ke tengah menemani Pak Ben. "Dengan menjawab teka-teki ini, kalian akan belajar bagaimana contoh kalimat yang memusingkan. Belajar dari kesalahan, kalian nantinya dapat membuat kalimat yang enak dibaca dan dicerna."
KAMU SEDANG MEMBACA
Avatar System: Brain Games
Science FictionMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...