Chapter 0.8

137 22 0
                                    

Setelah memastikan Juan pulang, Dewa mengetuk pintu kamarnya untuk menyuruh Aruna makan. Tetapi tidak ada jawaban dari gadis itu. Detak jantung Dewa tidak bisa tenang saat ketukan kelima, lagi-lagi tak ada jawaban. Dewa langsung membuka pintu dan ternyata tidak terkunci.

Mata Dewa tertuju ke satu gadis yang meletakkan kepalanya di meja, dengan beberapa kertas di sebelahnya. Dewa menghela napasnya panjang. Berjalan mendekati Aruna dan memastikan gadis itu benar-benar masih hidup.

"Masih napas. Bodoh kenapa sih doyan banget bikin khawatir?"

Dewa menghela napas, melihat gadis itu tertidur dengan nyaman berbantal tangannya. Dewa tersenyum kecil. Melihat beberapa kertas dengan berbagai gambar Aruna. Dewa mengambil satu kertas. Berisi tiga orang, yang sudah Dewa yakini jika itu Aruna dan kedua orang tuanya. Sedangkan kertas satunya yang belum selesai di gambar...

"Bayi?"

Di bawah tangan Aruna, ada satu kertas yang belum terselesaikan. Satu gambar bayi yang bisa dilihat secara sekilas dari mata Dewa, jika itu bayi laki-laki. Dewa menarik pelan kertas di tangan Aruna. Dewa terdiam. Gambar bayi ini benar-benar terasa familiar di otaknya. Dewa seperti pernah melihatnya. Tapi entah dimana, dia tidak ingat.








Dewa menghela napas sambil mengetuk-ngetuk jarinya di meja. Entah apa yang dia pikirkan. Tiba-tiba suara lembut melintas di indra pendengarannya, membuat Dewa otomatis menoleh ke sumber suara. Dewa bisa melihat Aruna yang berjalan ke arahnya.

"Kenapa?"

"Apa ada rautan? Pensilnya..."

Dewa memperhatikan pensil yang di bawa Aruna sudah tumpul. Laki-laki itu hanya menggeleng. Aruna terlihat mengerucutkan bibirnya. Saat gadis itu hendak berbalik, suara Dewa langsung mencegahnya.

"Mau kemana?"

Aruna kembali melihat Dewa sambil menunjuk ke arah kamar.

"Mau ke kamar"

"Mau ke rumah kakek ga? Udah gelap"

Aruna langsung melihat ke arah luar. Dan benar saja, tirai di ruang tengah setengahnya sudah terbuka menampakkan penampakan kota malam. Aruna menatap Dewa yang tengah melihatnya.

"Boleh?!" Ucap Aruna antusias.

Dewa terdiam, "Kalo ga boleh, gua ga bakal ngajak lo bodoh!"

Aruna tersenyum kikuk. Dewa hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Udah sana masuk cermin. Gua nyari kunci mobil dulu"













Jalanan akhir pekan benar-benar padat. Dewa sampai beberapa kali mendengus saat melihat tumpukan kendaraan di depan. Dia menekan klakson, sebelum menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Matanya menangkap sosok bayangan di dalam kaca, mencari kesempatan melihat ke luar.

"Keluar aja. Kacanya gelap, gada yang tau"

Ucapan Dewa, sontak membuat Aruna terkejut. Gadis itu sampai menghilang di layar cermin sebelum kembali dan keluar dari rumahnya setahun ini.

"Beneran ngga ada yang lihat?"

Dewa mengangguk, "Sini duduk di depan. Gua bukan supir lo"

Aruna mengangguk, kemudian melompat dari kursi belakang ke sebelah Dewa.

"Macet banget? Kemungkinan sampe di rumah kakek jam berapa?"

Dewa tampak berpikir sebentar, "Sekitar jam sembilan kalo lewat jalan alternatif di depan"

Aruna mengangguk paham. Dia menghela napas tipis sambil memperhatikan jalanan luar. Terlalu ramai dan berisik. Dia sedikit takut dengan keramaian sejak hari itu. Aruna memilih terus berada di dalam cermin yang sepi dan aman. Tetapi dia juga tidak mau terus-menerus hidup dalam dunia semu itu.

MIRROR | Jay ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang