Chapter 6.0 : Last, reality

225 22 2
                                    

Cahaya lampu luar, masuk melewati lubang-lubang kecil yang menghiasi seluruh ruangan sempit dan juga lembab. Seorang laki-laki terbangun dari tidurnya, kemudian berusaha menutup celah di dinding sebelahnya. Tangannya terlihat memegang kepalanya sambil menarik rambutnya sendiri. Laki-laki itu terdengar meringis kesakitan karena ulahnya sendiri, sebelum menarik tangannya dan berusaha mengontrol deru napasnya.

"Obat! Butuh obat!!"

Laki-laki itu meraba lantai di sebelah tempat tidurnya, kemudian mengambil beberapa obat di sana. Tanpa pikir panjang, dia langsung menuangkan obat-obat itu ke tangan dan memasukannya ke dalam mulutnya, dengan jumlah yang tak pernah dia hitung. Rasa sakit kepalanya mendadak berkurang, dia juga kembali merasakan normal pada tubuhnya.

Laki-laki itu menghela napas panjang. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Dia berada di kamarnya, yang gelap dan lembab. Dia memijat kepalanya. Itu semua cuma mimpi? Kenapa terasa begitu nyata? Telinga mulai berdengung. Sial. Dia datang lagi.

Dia memukul kepalanya. Berusaha menghentikan dengungan yang mungkin akan membuat telinganya kehilangan fungsinya. Tiba-tiba sebuah suara bersautan mulai muncul. Membuat dengungan semakin parah. Dia menekan telinganya kuat.

"Akhh!! S-sakit!!!"

Dia memukul kepalanya, lagi. Suara-suara itu selalu mengganggunya setiap saat. Suara yang menyuruhnya untuk mati, dan menghilang. Keringat mulai bercucuran. Laki-laki itu menoleh ke arah cermin di kamarnya. Dia langsung berlari ke arah cermin itu, dan memukul kepalanya ke cermin.

"Tolong!! Tolong, mau masuk!!!"

Laki-laki itu masih memukul kepalanya ke cermin, mengharapkan dirinya bisa masuk ke cermin seperti di mimpinya. Bahkan sampai cermin itu membuat retakan baru dan tetesan darah mulai menetes. Isakan tangis terdengar. Dia terisak. Mempertemukan lututnya dengan kerasnya lantai semen. Dan juga dinginnya lantai semen yang setengah rusak, menambah luka basah di sana.

"A-aruna?"

Beberapa kata mulai terdengar, dalam isakan tangisnya. Suara-suara itu kembali. Laki-laki itu mulai menjambak rambutnya sendiri walau darah masih menetes dari luka pecahan kaca. Dia merasakan sensasi perih, yang berdampingan dengan kepuasannya sendiri. Dia berteriak. Berusaha membuat rasa sakitnya menghilang.

Tiba-tiba suara isakan tangis menghilang. Digantikan oleh suata tawa keras yang menggema di sekeliling ruangan sempit ini. Laki-laki itu menatap tangannya yang penuh darahnya sendiri, kemudian menatap ke langit-langit kamarnya.

"Aruna? Cewek cantik itu, pacar gue?"

Dia tertawa. Tersenyum misterius kemudian bangun dari duduknya. Dia menarik sesuatu di balik kasurnya, kemudian melangkahkan kakinya ke luar dari ruangan sempit itu. Dia ingin menemui cintanya.




















Seorang laki-laki dengan pakaian lusuh, terlihat berjalan terseok-seok tanpa alas di trotoar kota. Membawa satu benda yang akan membuat siapapun berlari ketakutan. Dia tertawa, sambil mengarahkan benda itu ke seseorang yang melihat atau bahkan berusaha menghalangi jalannya.

Dia tersenyum miring, saat melihat seorang gadis yang dia cari ke luar dari sebuah kafe. Gadis itu terlihat tersenyum lebar dengan seorang laki-laki di sebelahnya. Dia langsung menarik senyumnya. Itu penghalangnya. Dia berjalan pelan di belakang ke duanya, masih dengan senyuman miringnya.

"Lomba kamu kapan jadinya? Minggu depan?"

"Iya. Mau nemenin?"

"Boleh aja. Adek bilang ke kamu bakal ikut ngga?"

"Anak-anak pada ikut kok"

"Okay! Kamu bagian ijin ke papa"

"Kok aku?!"

MIRROR | Jay ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang