Chapter 1.7

80 16 0
                                    

Aruna meringkuk di atas ranjang. Terselimuti tebal selimutnya dengan balutan isakan tangis di sela-sela peluk benda hangat itu. Traumanya kembali hadir. Rasa sakit di dada, hadir berkecamuk. Rasa perih yang tidak bisa dihalangi.

Semua kenangan setahun lalu berjalan pelan dalam otaknya. Bagai film layar lebar yang tidak ada ujungnya. Isakan memilukan gadis itu, dengan kenangan menyesakkan yang merenggut semua keluarganya. Dan kini dia harus bertemu seseorang yang juga seperti itu? Aruna bahkan tidak yakin jika pembunuh orang tuanya bukan Dewa.




Pintu kamar Aruna terbuka sedikit. Tak sepenuhnya tertutup, karena gadis itu tadi berlari membuat pintu itu malah memantul tak tertutup rapat. Isakan tangis itu benar-benar terdengar menyayat. Dewa menghela napas tipis saat melewati kamar itu. Dia melirik sedikit ke dalam. Tak ada satupun cahaya yang menerangi kamar itu. Apa yang sedang dilakukan gadis itu?

Dewa mengambil air di dapur sambil menunggu pesanan makanan datang. Dia terlalu malas memasak. Apalagi stok makanan yang lebih cepat habis karena bertambahnya satu jiwa dalam apartemen ini. Dewa juga bingung kenapa dia masih membiarkan gadis itu. Apalagi mengancam gadis itu agar tetap diam di sini. Entah apa yang dia pikirkan kemarin.





Makanan di depan benar-benar tidak menaikkan mood Dewa. Dewa membuang membiarkan makanan itu di atas meja makan, tanpa berniat dia sentuh. Dewa menyisir rambutnya ke belakang. Memilih berjalan ke kamarnya dari pada terus pusing sendirian di sini.

Saat melewati kamar Aruna, isakan kecil itu masih terdengar. Mood Dewa semakin memburuk saat mendengar itu. Dewa kembali melihat ke dalam kamar, kemudian menarik napasnya.

"Lo bisa diem atau mulut lo, gua sobek?"

Isakan tangis itu terhenti. Hanya menyisakan isakan kecil. Dewa menghela napas tipis kemudian memilih menutup pintu kamar Aruna, agar tangisnya tidak membuat kepalanya pusing. Dia tidak menyangka jika identitas terbongkar akan membuatnya semakin pusing begini.














Dewa membuka satu persatu halaman buku. Pikirannya melayang. Dewa tidak bisa berpikir dengan tenang sekarang. Suara dering telepon membuyarkan lamunannya. Dewa menghela napas saat melihat sebuah nama tertera di layar ponselnya. Juna ganteng. Sejak kapan dia menamai Juna begini di ponselnya?

"Besok bawa catetan Bio ya? Gue pinjem!!"

Dewa berdehem, "Sejak kapan nama kontak lo jadi Juna ganteng?"

Juna tertawa, "Kemarin? Pas lo tidur gue pinjem hehe. Bagus gitu sih yegak??"

Dewa tertawa, "Ya udah besok gua bawain"

"Nah bagus. Oke deh gue tutup. Malem!!"

Dewa menggelengkan kepalanya saat sambungan telepon terputus. Dia kembali meletakkan ponselnya di meja. Kembali membaca buku-bukunya, sebelum malam semakin larut.









Dewa melirik ke jam di atas meja. Jam sudah menunjukkan angka sebelas. Rasanya lama sekali Dewa duduk sambil membaca buku-buku ini. Dia bahkan tidak ingat untuk makan malam. Dewa menutup bukunya dan memutuskan untuk keluar kamar. Perutnya sudah meronta minta diisi.

Dewa melirik ke kamar Aruna. Kamarnya benar-benar terlihat sangat sepi. Dewa hanya mengangkat bahunya. Memilih berjalan terus ke arah dapur. Dia lebih peduli dengan perutnya dari pada kondisi gadis itu.

Dewa mendengus saat melihat makanan di meja. Dia mual saat hanya melihatnya. Dewa memilih berjalan ke lemari dapur, hanya menemukan mie instan, salah satu makanan instan di sana. Dewa menghela napasnya. Terpaksa malam ini makan mie untuk lagi dan lagi. Ya sudah biasa merasakan benda lembek dengan bumbu yang cukup kuat itu. Untung saja lambungnya juga kuat.

MIRROR | Jay ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang