Dewa masih memperhatikan Aruna yang terdiam di kamar gelapnya. Menangis, terisak kecil menyakiti batinnya sendiri. Dewa menghela napas panjang. Siapa yang dilihat dan didengar gadis itu sampai traumanya kembali seperti ini. Untung saja traumanya tidak separah kemarin.
Suara bel, membuat Dewa menoleh. Dewa langsung berjalan meninggalkan area kamar Aruna, dan pergi ke arah pintu. Dewa menyempatkan melihat siapa yang berada di depan apartemennya. Dia melihat seseorang dengan pakaian serba hitam berada di depan apartemennya. Dewa tersenyum miring. Barang yang dia tunggu sudah sampai.
"Permisi, Tuan. Barang pesanan anda sudah sampai"
Dewa mengangguk. Mempersilahkan kedua orang itu untuk masuk ke dalam. Dia tidak mau membuat para penjaga apartemen curiga jika dia membuka pesanannya di depan pintu.
"Semuanya lengkap ada di sini"
Dua orang itu langsung membuka masing-masing koper yang dibawanya. Dewa langsung terkagum melihat benda berbagai jenis di dalam sana.
"Semua pesanan sampai desain, sudah dicek tiga kali sebelum dikirim. Tuan bisa memastikannya lagi"
Dewa mengambil salah satu benda dan melihatnya.
"Gua percaya. Kalian sekarang bisa balik"
Kedua orang itu mengangguk. Dewa mempersilahkan keduanya keluar apartemennya sendiri. Ya biasanya juga begitu.
Dewa tersenyum sambil melihat satu-persatu benda khas milik komplotan gelap itu. Dewa menoleh ke arah kamar Aruna, menerawang apa gadis itu mau memegang benda ini setelah sekian lama.. Dewa tidak yakin, tetapi dia akan memastikan gadis itu akan handal memegang benda ini.
Saat hendak kembali ke kamar Aruna, tiba-tiba ponsel di tangan Dewa bergetar. Dewa mengangkat satu alisnya saat melihat nama papanya berada di layar teleponnya. Dia dengan cepat mengangkat panggilan suara itu. Suara bergetar milik papanya, membuat Dewa bingung.
Hampir bertanya, tetapi tertahan saat papanya menyuruhnya pulang. Ternyata paket istimewa yang dia kirim khusus untuk papanya sudah datang. Pantas saja pria tua itu terdengar ketakutan. Ya siapa yang tidak ketakutan saat mendapatkan kiriman spesial dari seseorang seperti Dewa..
Dewa memilih membereskan barang-barang istimewa ini sebelum pergi ke rumahnya. Dia juga harus memastikan gadis itu tenang sebelum dia pergi. Dewa khawatir Aruna nanti akan lebih parah jika terus menangis seperti tadi. Dewa sama sekali tidak berbakat menenangkan seseorang yang trauma. Bisa-bisa dia malah membuatnya lebih buruk.
Dewa melihat ke kamar Aruna. Kamarnya tampak tenang. Dia masuk, melihat gadis itu menutup matanya dengan tenang. Dewa tersenyum tipis. Mengusap kening yang dipenuhi oleh keringat dingin gadis itu. Dewa menghela napasnya. Mengecilkan suhu ruangan sebelum keluar dari kamar Aruna.
"Gua pulang dulu. Jaga diri, Aru"
Dewa memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang hitam besar itu. Dewa langsung dipersilahkan masuk ke area rumahnya. Dia memberhentikan mobilnya di halaman depan rumahnya. Para pembantu rumahnya langsung mengarahkan dirinya menemui tuan utama rumah.
Dewa bisa melihat raut khawatir para pembantu wilayah dalam. Mereka langsung mengantar Dewa ke ruang kerja papanya. Dewa tersenyum kecil saat satu persatu pembantu undur diri dan meninggalkannya sendiri di depan pintu besar itu. Dewa menarik napasnya, sebelum membuka pintu dan disambut oleh suara berat milik papanya itu.
"Dewa?"
Dewa melihat papanya yang memandangnya dengan tatapan sendu. Dewa berdehem. Berjalan mendekat dan duduk di sofa yang tak jauh dari posisi papanya.
"Kenapa?"
Papanya mendorong kotak merah di depannya. Dewa melihat tangan pria itu bergetar. Dewa tersenyum tipis lalu melihat papanya. Papa Dewa terlihat memijat pelipisnya.
"Papa gatau ini kiriman dari siapa, tapi Sella selingkuh"
Dewa mengangkat bahunya, "Kan aku udah bilang kalo dia jalang"
"Kamu tau darimana?"
"Club star. Orang-orangku banyak yang ke sana dan liat dia main sama om-om"
"Kenapa ga bilang papa?!"
Dewa tertawa, "Papa aja langsung nampar aku pas bilang gitu. Gimana aku mau bilang?"
Papa Dewa menghela napas, "Oke! Papa minta maaf!"
Dewa berdehem, "Udah itu aja?"
Papanya mendorong kotak merah itu ke Dewa. Dewa langsung mengambil dan membukanya.
"Surat? Foto? Ini apaan?" Tanya Dewa pura-pura sambil mengangkat satu kotak merah lebih kecil.
"Buka"
Dewa membuka kotak itu dan pura-pura terkejut melihat hadiahnya sendiri.
"Apaan?!"
Dewa melempar kotak itu sampai satu jari penuh darah di dalamnya terlempar keluar.
"Ini bukan ulah kamu?"
Dewa mengangkat bahunya. Ya memang tuan Jaya satu ini selalu tau apa yang dia lakukan. Dewa berusaha menetralkan raut wajahnya sambil menggeleng.
"Papa tau kamu masih suka ngerjain hal itu, Dewantara"
Dewa memutar bola matanya, "Terserah"
"Papa ga marah. Papa juga udah muak sama jalang itu"
Dewa melihat ke papanya yang melihatnya, meyakinkan.
"Ya"
Papa Dewa tersenyum tipis, "Maafin papa. Kamu ga capek apa musuhin papa terus?"
Dewa terkekeh, "Ga kebalik?"
"Oke! Iya papa minta maaf. Gini amat punya anak cowok keras kepala"
Dewa mendengus. Kan mulai.
"Mau balikan gak?"
Papa Dewa menatap Dewa yang menatapnya datar. Dewa terdiam.
"Dengan satu syarat"
"Apaan? Sekalian deh tanda terima kasih. Papa ga perlu ngotorin tangan buat bunuh jalang itu"
Dewa tersenyum kecil, "Bantu cari informasi tentang keluarga mafia Eden"
Dewa masuk ke apartemennya dengan senyuman. Papanya penyetujuan syaratnya tadi. Dan itu sangat memudahkan mereka mengetahui semua informasi. Terlebih jangkauan papanya ke orang dalam berbagai orang hantu, melebihi dirinya. Kemungkinan besar besok sudah ada sebagian informasi yang dia dapat. Tadi saja dia sudah sempat mendapatkan sedikit informasi tentang "Naru" itu dari orang-orang papanya.
Dewa teringat ke gadis itu. Dia langsung berjalan ke arah kamar Aruna. Baru saja hendak membuka pintu, dia terkejut karena Aruna juga membuka pintu dari dalam. Wajah gadis itu tampak muram dengan matanya yang sedikit bengkak.
"Eh Dewa? Udah pulang?"
Dewa mengangguk, "Lo udah gapapa?"
Aruna tersenyum, "Udah kok. Maaf buat yang tadi. Kayaknya aku cuma haluin suara pembunuh itu, makanya sampe gitu"
Dewa mengangguk paham, "Gapapa kok. Lo istirahat aja"
Aruna tersenyum, "Terima kasih, Dewantara"
"Gausah makasih. Udah sana"
Aruna tersenyum kecil. Mengangguk, kemudian menutup pintu kamarnya. Dewa tersenyum tipis. Berbalik ke kamarnya. Sepertinya besok saja dia memberitahu hal ini ke gadis itu. Dia yakin Aruna akan senang dengan berita satu itu. Semoga saja berita itu dapat menutup sedikit rasa traumanya.
"Bisa dipercepat? Gue bakal bunuh kalian semua kalo gabisa nemuin dia"
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRROR | Jay ✓
ФанфикNyatanya di dunia, secerah apapun orang tetap akan ada sisi gelapnya. Sepertinya Dewa, laki-laki yang mempunyai dua kepribadian yang berbeda. Sisi yang hangat, dan sisi kejam. Dewa yang dikenal manis, hangat, dan berteman dengan siapapun. Siapa yang...