Chapter 5.4

61 14 0
                                    

Beberapa hari, teror datang semakin parah. Dewa sampai pusing sendiri, setiap hari membuang kotak penuh darah dan juga tulisan aneh dari Rian. Dewa benar-benar yakin itu Rian karena dia hafal tulisan teman-temannya.

Dewa mengunci kamarnya. Malam ini, kotak terakhir datang dengan kepala anjing penuh darah, tanpa badan. Kepala Dewa sampai berdenyut melihat teror ini terus. Ya memang Dewa sudah terbiasa dengan hal berdarah begini, tapi untuk Aruna dia tidak bisa menahan semuanya. Dan lagi-lagi ada surat bertinta merah di sana. Tetapi bukan kata-katanya teror seperti sebelumnya, malah kata-kata yang cenderung malah memperingati (?)

'Lo jelas tau siapa gue, kan? Jaga Diksa. Besok jam sepuluh malem, DIA bakal keluar cari Diksa. Matiin lampu apart lo. Kalo ada orang mencet bel dengan bunyi ganjil, jangan dibuka! Jangan liat monitor! Tutup semua tirai, dan pastiin Diksa gak keluar kamar. DIA berbahaya. Mungkin lo gak bakal percaya lagi sama gue, tapi untuk kali ini gue mohon lo percaya. Dewa, gue mohon jaga Diksa. Dia kunci utama agar semua berakhir. Kalo lo gak nurutin ini, gue pastiin besok Diksa kemungkinan bakal berpindah tangan!'

Dewa memijat pelipisnya. Kepalanya benar-benar berdenyut. Dewa menyingkirkan kotak itu, dan menyusun ke tujuh kertas yang dikirim selama enam hari berturut-turut.

'Gue udah tau kalo Diksa sama lo'

'Gue kira lo gak terlibat, tapi siapa sangka dibalik sosok polos di sekolah langganan peringkat juara parallel ternyata pembunuh bayaran?'

'Gimana rasanya bunuh orang? Liat mereka ketakutan, mohon-mohon pasti buat lo seneng kan? Gue juga pengen nyoba. Tapi korban pertama harus lo, atau Diksa dulu yaa? Atau mungkin DIA?'

'Dewa? Tau gak sih kalo Diksa tuh cantik. Apalagi kalo dia jerit ketakutan pasti lebih cantik. Tapi lebih cantik kalo dia senyum ke gue lagi'

'Dewa, gue tadi sore liat lo keluar apartemen sendiri. Jangan tinggalin si cantik sendirian. Atau lo mau nyerahin Diksa ke DIA?'

'Diksa cantik banget pake dress merah. Sayang banget gue gak bisa nemuin dia waktu tadi buang sampah. Andai dia buang sampah pas malem, mungkin si cantik udah ada di tangan gue'

Dan yang terakhir tadi. Dewa tak tau apa motif Rian mengirimkan semua ini, tapi yang jelas Aruna dalam kondisi bahaya. Dewa sebenarnya harus memberitahukan Juan tentang surat teror ini. Hanya saja dia tidak mau membuat Juan khawatir, apalagi terakhir Juan kemarin ke sini belum menunjukkan tanda-tanda Juan dan Aruna baikan.

Dewa menarik napasnya saat matanya melihat angka satu di jam. Ini sudah larut, dan dia masih pusing memikirkan teror Rian. Bagaimana jika surat tadi hanya jebakan? Tapi tidak seorangpun bisa masuk apartemennya karena password apartemennya dirancang khusus. Apa Rian benar-benar memberitahunya apa yang akan terjadi besok?

Dewa mengacak rambutnya. Dia tidak tau harus apa. Dia memilih mengambil semua surat itu dan menyimpannya di kotak bawah kasurnya untuk menghindari Aruna melihatnya. Dewa tidak ingin Aruna memikirkan hal ini, atau berakhir sakit lagi. Dia akan menyelesaikan semua sendiri.


















Pagi ini semua tampak normal. Juan masuk ke apartemennya sebelum jam menunjukkan angka delapan pagi. Dia baru saja pulang dari markas. Semalam dia bergadang membentuk pertahanan baru karena serangan minggu lalu, rumah atas mengalaminya sedikit kerusakan. Untung saja tidak parah. Itu rumah peninggalan papa mamanya, Juan tidak akan membiarkannya rusak.

"Udah balik?"

Juan baru saja ingin membuka pintu kamarnya, tetapi tidak jadi dan memilih menoleh ke Arsel.

"Ya menurut lo?"

Arsel tersenyum, "Hehe maaf. Yaudah sana tidur"

Juan langsung membuka pintu kamarnya.

MIRROR | Jay ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang