Chapter 4.7

62 10 0
                                    

Keadaan meja makan benar-benar sepi. Hanya terdengar suara peralatan makan yang bertempur. Dewa melirik ke Juan yang hanya mengaduk-aduk makanannya, sambil menyuapkan beberapa kali tak berniat makan. Apalagi Arsel. Laki-laki yang biasanya paling semangat dengan makanannya, hanya diam menusuk-nusuk makanannya dengan garpu.

"Ini pada kenapa sih? Papa dateng murung semua?"

Papa Dewa mulai berbicara.

"Gapapa, pah. Lagi pusing aja" jawab Dewa.

"Masalah itu? Kenapa ga ngomong papa? Dipikir papa gamau bantu apa?"

"Gagitu, pah... Papa udah kenalan sama Arsel?"

Papa mengangguk, "Tadi sore papasan di tangga. Ya kan?"

Arsel mengangguk. Dewa menarik napasnya.

"Aru udah ngasih tau yang masalah kemarin pas aku ke puncak? Makanya Arsel ada di sini?"

Papa menggeleng, "Bukan Aruna, tapi Juan. Ini papa panggil kamu Juan apa Naruna?"

Juan tersenyum, "Juan aja, om"

Papa mengangguk, "Oke. Udah kan? Terus rencana kalian gimana? Napa lesu amat sih? Belum juga mulai"

"Kita ngga bisa maksa Arsel ikut. Aku ngga mau bawa Arsel juga. Papa sama Dewa gabung aja aku ngerasa bersalah banget. Aku ngga mau sampe ada korban lagi"

Jawaban Aruna, benar-benar membuat Arsel berpikir ulang. Dia diam. Memainkan jemarinya sambil bertengkar dengan pikirannya sendiri. Papa Dewa terdengar menarik napasnya.

"Yaudah kalo emang Arsel gamau dan Aruna juga gamau nyeret dia, mumpung kalian libur semester, Arsel ada di sini aja. Terlalu bahaya karena kamu udah tau sesuatu tentang mereka dan juga kita. Ancaman di luar lebih besar daripada rumah ini. Tadi papa udah sempet telepon penjagaan, dan pasukan khusus bakal datang besok pagi. Kalo cuma suruhan cucu Darien, ga bakal bisa tembus pertahanan papa. Tapi kalo cucu Darien yang asli... Papa ga yakin"

Arsel diam-diam melirik ke Aruna yang sedang menepuk pelan tangan Dewa. Laki-laki itu benar-benar terlihat memikirkan sesuatu. Arsel jadi tidak enak.

"Kalian mending istirahat aja. Papa malem ini yang jaga, kemungkinan besar orang-orang itu mulai malam ini mengawasi di sekitar sini"

Mereka hanya mengangguk. Aruna langsung menyuruh Dewa beristirahat di kamarnya. Aruna juga menyuruh Juan dan Arsel pergi ke kamar. Sebenarnya Dewa tadi menyuruhnya beristirahat juga, tetapi Aruna ingin sendiri.



Aruna memperhatikan wastafel penuh cucian piring. Dia terdiam. Memikirkan kemungkinan terberat beberapa hari ke depan. Kepalanya pusing. Dia benar-benar tidak mau menyeret orang-orang asing itu dalam urusan keluarganya. Dia berniat menyelesaikan semuanya sendiri, tetapi semuanya sudah melebar sampai seperti saat ini.

Aruna memijat pelipisnya. Kepalanya semakin berdenyut. Dia memilih meninggalkan cucian piring menumpuk itu saat salah satu pembantu menyuruhnya beristirahat. Sudah dua orang yang berkata, wajahnya terlihat sangat pucat. Aruna ingat dari pagi dia belum beristirahat. Apalagi memikirkan persoalan ini membutuhkan energi besar.

Aruna memijat kepalanya sambil menaiki satu persatu anak tangga. Tiba-tiba pandangannya terasa berputar. Hampir saja dia kehilangan keseimbangannya, tapi seseorang langsung menahan tubuhnya.

"Gapapa? Ck! Aku bilang juga apa, kamu pucet!"

Itu Dewa. Laki-laki itu tanpa berbicara apapun langsung menggendong Aruna dan membawanya ke kamarnya.

"Aku ngga papa—"

"Gapapa gimana? Badan kamu panas gini, Aruna?!"

Dewa membuka pintu kamar Aruna, dan langsung meletakkan gadis itu di ranjangnya.

MIRROR | Jay ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang