Chapter 3.1

75 16 0
                                    

Suasana minggu pagi benar-benar sepi. Dewa berjalan santai menuruni tangga. Tetapi saat menyadari sesuatu, Dewa malah terkejut. Dia terkejut saat melihat tirai di rumah semuanya terbuka. Dewa langsung kembali menaiki tangga. Dia harus memastikan gadis itu masih berada di kamarnya.

Dewa mengetuk pintu kamar Aruna. Tidak ada jawaban. Dewa berdecak kesal. Lagi dan lagi gadis itu membuatnya panik karena khawatir. Dewa tidak menyerah. Dia terus mengetuk pintu kamar Aruna. Sampai hampir sepuluh menit, sebelum pintu terbuka sedikit dan menampilkan setengah wajah Aruna.

"Maaf tadi aku masuk ke cermin. Panas..."

Dewa menghela napas. Dia mendorong pintu dan langsung menutupnya. Dewa menghela napas. Melihat wajah memucat gadis itu.

"Gapapa?"

Aruna mengangguk, "Gapapa kok. Aku belum sempet ke bawah"

"Jadi belum makan?"

Aruna menggeleng. Dewa menarik napasnya. Papanya bisa curiga jika Aruna tidak keluar. Tetapi jika gadis itu memaksa keluar, papanya bisa ikut panik melihat kemungkinan terburuknya.

"Gua ambilin sarapan. Diem di sini"

Aruna menurut. Membiarkan Dewa keluar dan mengambilkan makanan. Hanya beberapa menit, pintu kembali terbuka. Dewa masuk dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.

"Papa belum bangun. Nanti kalo papa curiga gua bilang lo sakit perut. Sekarang abisin makanan lo. Nanti malem kita balik ke apart"

"Maaf aku ngerepotin kamu lagi"

Dewa mengangguk, "Kalo ada apa-apa telpon 9915, itu nomor telepon kamar gua"

Aruna mengangguk. Dia tersenyum.

"Makasih, Dewa"

Dewa mengangguk, kemudian berjalan ke arah pintu. Aruna masih tersenyum sampai laki-laki itu menghilang di balik pintu kamar. Dia memandangi nampan di pangkuannya. Senyumnya melebar. Tetapi hanya beberapa detik, sebelum Aruna mengembalikan mimik wajahnya menjadi datar.

"Ngga boleh!!"













Dewa memeriksa beberapa kertas yang sampai di kamarnya tadi pagi. Semua kertas ini berhubungan dengan keluarga Eden dan juga informasi tentang perusahaan mereka. Tetapi ada satu hal yang membuat dirinya terkejut.

Lagi-lagi beberapa foto CEO yang memegang perusahaan keluarga Eden, terlihat di beberapa kertas di tangannya. Hanya foto membelakangi kamera, lagi dan lagi. Sebelum terlihat seorang seperti pengawal menutupi kamera. Dewa menghela napas. Kenapa tambah mencurigakan, jika mereka benar-benar menutup privasi orang itu.

Saat membuka lembaran terakhir, Dewa agak terkejut saat melihat beberapa alamat. Sepertinya alamat rumah. Di sana tertulis, alamat mencurigakan yang bisa saja menjadi tempat tinggal keturunan terakhir Eden. Dan alamat itu tepat berada tak jauh dari perumahannya.

Dewa ingin menghampiri tempat itu, tetapi Aruna... Dewa menghela napas panjang. Dia tidak bisa meninggalkan gadis itu sendiri di sini. Jika di apartemen mungkin saja bisa. Papanya juga jika tau tidak akan membiarkan dirinya pergi. Dewa bingung.



















Aruna melihat kanvas yang masih tersisa, belum terkena satu noda cat sama sekali. Dia langsung mengambil peralatan lukisnya dan memandangi kanvas kosong itu. Aruna menopang dagunya. Dia belum terpikir apa yang akan dia lukis kali ini.

Tiba-tiba saja Aruna terpikirkan rupa adiknya sekarang. Aruna tersenyum kecil. Dia ingin mencoba hal baru. Aruna mencoba menggambarkan wajah adiknya sekarang. Dan dia akan mencocokkan hasil ilustrasi otaknya di kanvas ini jika besok benar-benar bisa bertemu adiknya, sebelum semuanya berakhir.



MIRROR | Jay ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang