Chapter 2.0

81 17 0
                                    

Beberapa hari ini Dewa fokus ke pertandingan basket terakhirnya. Dia bahkan seminggu ini sama sekali belum menerima panggilan untuk bermain-main dengan benda kesayangannya. Kepalanya sampai pusing. Benar-benar hidupnya hanya seputar basket, tugas, dan juga gadis itu.

Besok adalah hari pertandingan basket. Dewa sekarang tengah memijat pelipisnya sambil melihat pemandangan kota dari ruang tengah. Dia sendirian. Entah apa yang dilakukan gadis itu di kamarnya setelah makan malam tadi. Dia tadi menyuruh gadis itu menggambar ulang sketsa adiknya. Entah sudah dia kerjakan atau belum, Dewa tidak mau memikirkannya.

Dering ponsel membuat Dewa tersentak. Dia dengan cepat mengambil ponsel yang tak jauh darinya. Deretan angka asing membuat ujung bibirnya langsung naik. Dewa sudah tau apa yang akan dilakukannya sekarang.

"Ya?"

"Gue tau lo lagi puyeng butuh pelampiasan. Gue berani 4, hari ini selesai. Gue kirim infonya di email"

Dewa tersenyum saat sebuah pesan masuk dengan angka empat dan deretan nol berjejer indah masuk ke rekeningnya. Dewa membaca sekilas informasi yang dikirim kemudian tertawa. Dia berjalan ke arah kamarnya untuk mengambil benda kesayangannya. Dewa siap untuk bermain-main dengan hasil karya barunya.



Dewa menutup pintu kamarnya dengan senang. Tiba-tiba matanya terhenti ke pintu kamar gadis itu yang tertutup rapat. Dewa berjalan mendekati pintu kemudian mengetuknya pelan. Berniat berpamitan dulu, tetapi tidak ada sahutan dari dalam.

Dewa mencoba membuka pintu dan ternyata pintu tidak dikunci. Dewa mengintip sedikit. Dia tidak menemukan keberadaan gadis itu di dalam. Dewa melihat ke arah cermin yang sebelumnya masih tertutup kain. Dewa berjalan ke arah cermin itu dan mengetuknya beberapa kali. Tidak ada jawaban lagi. Gadis itu kemana?

Tiba-tiba Dewa dikagetkan dengan kemunculan gadis itu dari balik cermin dan langsung terjatuh di depannya. Untung saja Dewa dengan cepat menangkapnya sebelum tubuhnya benar-benar menyentuh lantai.

"Gapapa? Lo kenapa?!"

Deru napas Aruna terdengar jelas. Gadis itu mencoba mengangguk. Dewa dengan cepat menggendongnya dan meletakkannya pelan di atas ranjang.

"Abis ngapain sih?!"

Dewa memperhatikan gadis itu yang menutup mata sambil berusaha menetralkan napasnya.

"Kayaknya aku terlalu lama di sini. Aku sampe lupa kalo masih terikat sama cermin itu. Makanya aku sampe begini..."

Dewa mengusap kasar wajahnya. Menatap bingung gadis itu.

"Tapi sekarang gapapa?"

Aruna mengangguk, "Aku harus tetep masuk ke cermin. Atau engga tubuhku bakal hilang. Tapi sekarang aku gapapa kok"

Dewa menghela napas, "Syukurlah. Makanya lain kali inget masih kudu masuk sana!"

Aruna mengangguk, "Maaf"

Dewa berdecak, "Kerjaan lo bikin orang khawatir mulu"

"Eh?"

Aruna menatap Dewa yang tengah membuang mukanya.

"Lupain! Dahlah gua ada tugas. Pergi dulu"

Dewa dengan cepat berjalan ke pintu. Aruna tersenyum kecil walaupun setengah menahan traumanya saat Dewa mengatakan kata tugas tadi. Dia tau Dewa akan pergi ke mana. Sudah pasti tugas itu..
















Dewa mengasah benda kesayangannya, sambil memantau rumah besar di depan sana. Lokasinya sekarang berada di balkon sebuah rumah kosong di sebelah rumah itu. Tempatnya sekarang benar-benar gelap. Tidak ada siapapun yang mengira ada seseorang yang berdiam diri di tempat mengerikan ini sambil memperhatikan targetnya. Bahkan orang-orangnya memilih berjaga-jaga di bawah daripada ikut dengannya ke atas.

MIRROR | Jay ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang