Selamat Membaca:)
Bintang point of view, berkaitan dengan part dua puluh.
***
Masuk tahun ke-empat kuliah, aku merasa banyak yang berubah. Bertambahnya umur setiap tahun membuat diriku menjadi dewasa yang sesungguhnya.
Ibu dan Mas El , keduanya semakin sering menanyakan kabarku. Apalagi Mas Elang. Entah kenapa, sejak saat dimana Danish menyusulku ke Bandung bersama Joni waktu itu, Mas Elang selalu gencar menanyakan segala sesuatu tentang Danish. Tak jarang Mas El malah menjadikan Danish sebagai pembanding.
Bicara tentang Danish, dia juga sudah banyak berubah. Oh tidak, bolehkah aku mengatakan kalau Danish berubah saat bersamaku?
Danish yang kalau berbicara dengan orang lain selalu seadanya, galak dan terkesan cuek. Tapi ketika denganku, Danish bisa menjadi sosok yang lembut.
Sepertinya, setiap hari Danish selalu mengirim pesan singkat untuk ku. Sekedar menanyakan 'Ada cerita apa hari ini?' entah kenapa, yang ia tanyakan terlihat manis. Aku tidak ingin terlalu geer, takutnya yang aku harapkan ternyata hanyalah khayalan.
Hari ini, selesai aku dan Danish bimbingan dengan dosbing masing-masing, Danish mengajakku makan siang. Di tempat yang belum pernah aku kunjungi sama sekali. Restoran yang berada di atas membuat pemandangan kota rantauan ku terlihat disetiap sisi.
Tempatnya indah, cocok buat orang yang sedang jatuh cinta.
Aku semakin bingung, Danish membawa ku jauh dari daerah tempat tinggal kami. Semester lalu ia juga pernah melakukan hal yang serupa. Membawa ku ke pantai untuk sekedar melihat sunset di hari sabtu.
Saat itu, ketika aku bertanya apa tujuannya membawaku ke sana. Jawabannya hanya karena Jefri pernah bercerita kalau sunset di pantai yang kami datangi waktu itu bagus.
Aku pernah merasa Danish seolah mengistimewakan ku. Tapi aku tak ingin berekspetasi terlalu tinggi. Aku tidak ingin terlalu di buat senang oleh ekspektasi yang ku buat sendiri.
Setelah memesan makanan, aku dan Danish sama-sama terdiam. Danish sibuk melihat pemandangan kota yang tersaji. Sedangkan aku, menatap lekat laki-laki yang ada tepat di depanku saat ini.
"Nish." panggiku tanpa mengalihkan pandangan.
Danish tak menjawab. Mata yang awalnya menatap ke samping, kini beralih ke depan. Menatapku yang juga sedang menatapnya.
"Lo belakangan banyak berubah." ujarku.
"Berubah?"
Aku mengangguk, Danish tampak bingung dengan perkataanku. Tapi aku yakin, dia paham maksud ku.
"Berubah gimana?" tanyanya.
Aku menggedikkan bahu, tidakkah Danish sadar atas segala perbuatannya selama ini? Atau dia hanya pura-pura bodoh?
"Terserah lo mau nginterprestasiin kata berubah itu kaya apa."
Danish tertawa renyah, aku tertegun. Berkali-kali melihat tawa Danish, dan bolehkah aku jujur? Aku suka dengan tawanya. Gummy smile yang Danish miliki membuat daya pikat seorang Danish Reksa menaik.
"Gue bingung."
Aku mengernyitkan dahiku. Danish bingung? Sekarang aku juga bingung karena Danish bingung.
"Kalo lo bingung, gue juga bakal tambah bingung." ujarku.
"Kita deket nggak cuma dari kemarin Nish, 3 tahun lebih gue kenal sama lo."
Danish diam, sepertinya masih berpikir kalimat apa yang akan ia ucapkan.
"Bintang." panggilnya, aku tak merespon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Danish [END]
Ficción GeneralMelangkah jauh demi sebuah harapan. Awalnya aku mengira kalau keputusan itu adalah jalan terbaik yang pernah ada. Hingga tak sadar, bahwa banyak hambatan untuk mencapai garis selesai. -Danish- _______ Danish itu emosian dan galak. Tapi kalau sama Bi...