Seven

168 29 12
                                    

Mobil itu melaju pelan membelah jalanan yang sepi, sesekali terdengar lantunan musik dari radio yang diatur kecil menemani perjalanan mereka.

Ya.. pada akhirnya Lucy menerima tawaran pulang itu, ia duduk dalam diam sambil menautkan tangan dan menoleh keluar jendela.

Gedung pencakar langit lebih menarik dibanding menatap sosok itu yang tengah menyetir, terlihat sosok tersebut seperti mengatur kesadarannya.

"Jadi kemana aku harus mengantarmu?" Lirih dan sedikit lemah, Lucy menelan ludah setiap mendengar atau melihat sosok itu, ia menoleh sedikit menatapnya.

"Sekolah."

"Hah, kenapa malam-malam ke-

"Rumahku didekat sekolah." Seakan mengerti kalau sosok itu salah paham dengan pengucapannya, dia sudah terlebih dahulu menjelaskannya, membuat sosok itu mengangguk kecil dengan bibir pucat membentuk huruf o, lalu dalam sedetik menyunggingkan senyuman hangat yang kini membuat Lucy merasa tidak asing dengan wajahnya.

"Kenapa?" Sadar kalau diperhatikan sosok itu melirik Lucy yang menggeleng langsung dan menunduk, anak itu tengah memikirkan senyuman tadi, dia benar-benar seperti pernah melihatnya.

"Boleh aku bertanya?" Walaupun kesadarannya mulai mencapai batas, sosok itu menggunakan waktu sebisa mungkin untuk mengajak Lucy berbicara dan menambahkan kecepatan laju mobilnya.

"Tanya saja." Kini tidak ada rasa takut lagi didalam diri Lucy karena sosok itu terlihat baik dan benar-benar mengantar ketempat tujuannya.

Sosok itu berdehem sebentar dan menelan ludah, kedua tangan di stir mulai melemah dan pandangannya sedikit berkunang-kunang sekarang.

"Apa yang kamu lakukan disana tadi?" Pertanyaan yang terdengar sulit untuk Lucy menjawabnya, Gadis itu menoleh sedikit memandang sosok itu yang diam menatap lurus kejalanan. Terlihat dimata Lucy kalau mata sosok itu tengah mengerjap beberapa kali.

"Menjual diri."

Ckitt!

Mendengar jawaban yang tidak terduga membuat sosok itu spontan menginjak rem, tubuh mereka tersentak sedikit kedepan karena tertahan oleh tali sealbelt, Lucy melotot kaget dan mengangkat tangan kanan menyentuh dadanya yang berdegup kencang sekarang.

"Ya apa ka-

Ucapannya terhenti, tangan di dada meluruh kebawah dan mata melotot itu berubah menjadi ke khawatiran sekarang, karena..

Sosok itu sudah memejamkan mata dengan tubuh bersandar lemah di jok kursi, kedua tangan yang berada di stir mobil kini terkulai lemas.

Lucy terdiam termangu melihat itu semua, hingga beberapa menit terdengar suara lantunan musik yang lembut dari hp mengambil kembali kesadaran Lucy.

Anak itu tidak sopannya merogoh saku hoodie yang dipakai sosok itu lalu mengeluarkan hp berlogo apel tergigit.

Ia menggeser ikon ke warna hijau disaat ada yang menelpon dan membawanya ketelinga dengan tangan gemetaran serta tatapan takut kalau sosok itu sudah pergi ke alam lain.

"Halo sayang, kamu dimana sekarang?" Suara disebrang sana terdengar namun Lucy tidak tau harus menjawab apa, terlebih suara itu terdengar seperti cewek dan memanggil sosok ini dengan sebutan "Sayang."

Tapi tak lama terdengar suara bariton disana membuat Lucy mengernyitkan dahi bingung dan suara itu menyapanya sekarang.

"Hoi mentang-mentang mobil baru lupa waktu untuk pulang hah! Katakan dimana kau sekarang biar papa menjemputmu."

"Papa?"

"Halo, hoi. Anak kampret."

"Berikan ke aku saja." Disebrang sana sosok pria tegap mengembalikan hp ke sosok wanita yang kini mengelus bidang dadanya.

"Sayang, katakan kamu dimana hm? Mama tidak akan marah."

"Minji sayang."

Deg!

"Mi-minji?"

"Kalau kamu tidak ngomong mam-

"Ha-halo." Pada akhirnya Lucy memberanikan diri berbicara dan memandang tak percaya kalau sosok itu adalah Minji, dia tentu mengenal nama itu dan dibenaknya langsung terbayang wajah cupu Minji.

"Halo? Siapa kamu? Dimana anak saya!" Menelan ludah gugup dan membuka mulut untuk membalas jawaban.

"Mi-minji dia.. tengah pingsan, lengan dan- dan kakinya terluka. Di-dia.."

Tutt!
.
.
.
.
.
.

Lucy berdiri diam dengan kepala tertunduk didekat kedua orang tua Minji.

Ia tidak tau harus melakukan apa, pergi begitu saja sungguh tidak sopan, tetapi dia harus memang pergi terlebih ada yang menunggunya di sekolah sekarang.

Dan mungkin orang yang menunggu kehadirannya tengah menangis kencang.

Sungguh Lucy mulai berfikir yang enggak-enggak sekarang, kedua kakinya bergerak ragu untuk mendekati kedua orangtua Minji atau diam saja disini sambil melirik sesekali mereka berdua.

"Anu." Namun pada akhirnya ia memilih mendekati kedua orangtua tersebut yang tengah memandang lamat pintu ruangan didepan mereka, Mina lah yang menoleh dan memandang hangat Lucy.

"Ada apa sayang?"

"S-saya harus pulang, ini sudah sangat malam dan ke-

"Pergi saja!" Ketus dan dingin serta diiringi bentakan diberikan Chaeyoung untuknya, membuat tubuh mungil itu tersentak mundur dan menunduk dalam.

Mina melirik tidak suka kepada suaminya.

"Mas."

"Apa! Kalau saja tu anak bangke gak sok-sok'an jadi pahlawan, nyelamatin gadis yang asal usulnya sama sekali tidak jelas. Dia tidak bakal sampai segininya!"

"Tapi kan bukan salah gadis ini juga mas."

"Salah!" Mina menghela nafas lelah menghadapi keras kepala suaminya sekarang, ia memandang tidak enak Lucy yang masih menunduk sambil memegang erat kantong hitam di kedua  tangannya.

"Saya juga tidak minta anak anda untuk menolong saya tuan." Chaeyoung mengatup kuat rahangnya mendengar omongan Lucy, sedangkan Mina memilih diam memandang iba gadis tersebut.

"Saya minta maaf, anda benar saya yang salah."

"Nak." Tubuh itu bergerak mundur disaat Mina akan meraih lembut lengannya, ia mendongak dan menyunggingkan senyuman hangat serta mata yang berkaca-kaca.

Hanya sebentar setelah itu membungkuk dalam.

"Sekali lagi maafkan saya tuan, saya berjanji tidak akan pernah melibatkan anak anda lagi." Ucapnya diiringi setetes air mata jatuh ke lantai. Ia bergerak mundur dengan posisi yang masih membungkuk, setelah merasa jauh baru tubuh itu berdiri dengan tegap dan berbalik, melangkah pergi dari sana meninggalkan Mina yang menatap tajam langsung suaminya.

"Apa hm, mau salahin mas, iya."

"Memang, mas tu ya keras kepalanya dikurangin kenapa sih, gak kasihan lihat dia?"

"Ngapain kasihan, orang dia yang buat anak kita masuk rumah sakit." Mina mengigit geram bibir bawahnya karena benar-benar kesal sekarang.

"Udahlah dek, gak-

"Kalau misalnya adek berada di posisi dia, mas gimana?" Ucapannya di potong dan telak membuat Chaeyoung terdiam, Mina tersenyum tipis melihat itu, ia memilih bergerak mendekati pintu yang sudah terbuka dan mengikuti kemana perginya ranjang yang membawa Minji, menyisakan Chaeyoung yang kini tertunduk sambil mengepalkan kedua tangannya.

Young Mother ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang