Chapter (9)

161 23 3
                                    

"Ya udah kalo gitu, hati-hati dijalan ya. Kabarin aja udah sampe, yang nganter si Arifin sama Winda?" Susi mengapit ponsel diantara telinga dan bahu, ia sedang membuatkan susu untuk Andin.

"Oh, oke oke. Kabarin ya nanti, titip salam buat keluarga disana". Wanita itu tersenyum kemudian mematikan sambungan telpon, Ari muncul dari belakang memeluk tubuh istrinya.

"Siapa yang nelpon subuh-subuh gini?"

"Rani, dia lagi di Stasiun mau pulang. Padahal aku udah bilang sama dia buat disini dulu". Ari mengangguk saja menanggapinya, pria itu sebenarnya ingin mengatakan sesuatu tapi seperti nya kurang pas jika bercerita pada Susi. Karena urusannya pada Rani, mungkin nanti biar dia sendiri yang mengobrol langsung dengan wanita itu. Mereka melanjutkan pembicaraan dengan membahas tentang sekolah Athif, perkembangan Andin yang mulai lancar berjalan. Semuanya diceritakan dalam satu momen dengan penuh tawa, Ari benar-benar mencintai wanita ini dengan sepenuh hati. Perempuan akan selalu cantik dan mempesona dimata lelaki yang mencintainya.

Saat keduanya sedang larut dalam obrolan, Rega keluar bersama Aisyah membawa koper. Keduanya tampak saling berpelukan mesra, tidak menyadari bahwa disana ada dua orang lagi yang memperhatikan mereka.

"Kabarin aku kalo udah sampai disana". Aisyah mencium punggung tangan Rega, lelaki itu baru saja mendapat kabar jika pembangunan pabrik di Tambaksari mengalami masalah, ada oknum-oknum nakal yang mengacaukan dana sehingga pekerjaan jadi tertunda.

"Mau kemana?" Ari menghampiri Rega yang hendak keluar, pria itu hanya memandang kakaknya dengan sebal.

"Kenapa gak bilang kalo pembangunan di Tambaksari lagi kacau, abang sengaja?" Sergah Rega kesal, dia tidak mengerti padahal disini yang menjadi boss nya adalah Ari tapi selalu saja dia yang turun tangan saat ada kekacauan dalam hal kerja. Ck

"Oh itu, lupa. Seharusnya dua hari yang lalu kasih tau kamu, berangkat sekarang?"

Rega meletakkan kopernya sebentar lalu dipegang lagi, kalau saja bukan kakak mungkin sudah ia lempar koper berisi pakaian ini pada lelaki jangkung itu. Karena kerja ini juga dia harus meninggalkan Aisyah di Jakarta, liburan mereka belum selesai.

"Kalo boleh, gue males berangkat bang. Masa iya liburan gue sama istri jadi rusak gini, kadang-kadang suka durhaka ya sama adek sendiri". Pria itu menatap wajah Aisyah yang tersenyum, dia bahkan tidak tahu bagaimana keadaan disana. Ingin mengajak wanita itu tapi dia tahu kalau nanti juga tidak akan ada waktu untuk bersenang-senang.

"Pulang dari sana abang kasih libur penuh, terserah mau kemana. Semua biaya ditanggung pemerintah".

"Beneran? Awas aja gue pulang ntar gak ada ya". Ari mengangguk serius, dia juga merasa bersalah karena mengacaukan honeymoon Rega yang entah ke berapa kali, tapi memang beginilah resiko menjadi pengusaha.

Tidak ada jaminan perusahaan akan terus maju jika tidak bekerja keras memperbaiki sistem dan pengembangan, apalagi jaman sekarang sudah banyak perusahaan yang lebih besar. Mereka harus bisa bersaing dan mengambil jatah pasar sendiri. Rega berangkat sendiri ada taksi yang sudah menunggu. Pria itu sengaja meninggalkan mobil agar Aisyah bisa pergi tanpa harus naik kendaraan umum, mereka memang kaya tapi bukan berarti bisa membuang uang semaunya. Regina mengecamkan pada anak-anak agar tidak mubazir dengan kepunyaan mereka, masih banyak hal bermanfaat yang bisa dilakukan dengan uang sebesar itu dari pada membeli mobil mewah.

******

Winda memeluk sahabatnya dengan deraian airmata, seolah-olah mereka akan berpisah jauh padahal jarak antara Jakarta-Surabaya tidak terlalu jauh, apalagi sudah banyak transportasi yang bisa membawa mereka kemana saja.

"Udah deh, nanti juga bakal ketemu lagi kan. Orang-orang natap lo berdua aneh, dih si Winda lebay banget elah".

"Hush!" Rani mencubit lengan kekar Arifin menyuruhnya diam, sudah cukup dia menyaksikan kedua manusia ini dengan terus bertengkar dan berdebat. Tidak tahu tempat, akan selalu ada perdebatan diantara mereka.

"Lo nangis gini, berasa gue gak akan balik lagi tahu gak. Udah ya? Bisa ketinggalan kereta gue, Winda". Rani melerai pelukan wanita itu dengan wajah tersenyum, entah kenapa dia merasa terharu. Sejak tadi menahan airmata ternyata sangat sulit.

"Gue tuh baru ketemu lo empat hari doang beb, masa iya mau pisah lagi. Tega banget lo". Winda memberi jarak pada Rani, memandang sahabatnya yang sekarang sudah banyak berubah. Sikap dan tingkah laku perempuan didepannya ini sudah tidak sama lagi dengan dulu, dia benar-benar memegang komitmen menjaga batasan mana yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dia senang ketika tahu sekarang Rani sudah memiliki kesamaan dengan dirinya dan Arifin, meskipun tanpa itu juga mereka akan tetap menjadi teman selamanya.

"Lo cantik banget beb, kenapa gue baru sadar? Secantik itu muka lo sampe gue iri, bahkan tanpa make up". Arifin melengos melihat tingkah istrinya yang berlebihan, merengek sambil memeluk Rani lagi. Tapi lelaki itu juga mengakui kalau Rani memang cantik bahkan tanpa polesan make up.

"Kalo ini, lo emang lebay. Mana ada cantik kayak gue, buktinya masih jomblo sekarang".

"Itu kan karena lo nya sok jual mahal beb, coba aja mau jadi bini kedua pasti gak ribet".

Rani melotot horor dengan bibir menipis mendengar perkataan Winda. Erww!

"Oi oi oi, ucapan adalah doa! Jangan sembarangan doain gue ya, beneran didengar malaikat mampus gue. Bener-bener nih anak, udah lah. Bawa balik deh Ar bini lo, makin ngelantur nih ngomong nya". Rani mendorong tubuh Winda menjauh, ck.

Bisa-bisanya Winda berkata seperti itu, tubuh Rani merinding mendengar kata istri kedua. Yang benar saja!
Setidaknya doa yang baik untuk dirinya, ish Winda!

"Hati-hati ya nyet. Jaga diri baik-baik, nanti gue kabarin deh kalo jadi main kesana". Arifin memeluk Rani sebentar dan mengucapkan salam perpisahan, Rani berjalan menjauh dari mereka dengan membawa tas berisi baju. Dia bukan tipe gadis yang suka ribet, kalau bisa beli kenapa harus bawa baju dan koper yang jelas merepotkan.

Rani menemukan tempat duduknya didekat jendela, menyimpan tas kemudian mengambil posisi ternyaman menyandarkan tubuh. Dia masih sangat mengantuk, jarak tempuh memakai kereta api cukup lama untuk membuatnya istirahat. Setelah ini dia akan kembali menjalani rutinitas yang sama, bekerja menyibukkan diri, melakukan apa saja yang bisa membuatnya lupa pada semua beban dalam hati. Rani tidak butuh kekayaan, harta dan segala jenis kesuksesan duniawi. Yang dia perlukan hanyalah ketenangan hati, semua beban dan kegelisahannya selama ini hilang bersama dengan kenangan masa lalu.

Mimpi

Keinginan

Dan harapan

Rani ingin melepaskan sepenuhnya, andai pun salah satu dari ketiga hal itu mampu dia raih. Semoga saja mimpinya untuk membahagiakan diri sendiri dan orang-orang di sekeliling tercapai. Sudah terlalu lama sejak ia patah hati, Rani belum juga membebaskan diri dari sana.

Setelah melihat sendiri bagaimana keadaan Rega yang baik-baik saja bersama hidup barunya, mungkin sekarang saatnya bagi Rani melangkah ke lembar lain dalam hidup. Ia tak bisa melupakan semua yang terjadi dimasa lalu, tapi membiarkan kenangan itu tetap tinggal dibelakang adalah pilihan yang bijak. Waktunya meninggalkan masa lalu, rasa sakit yang masih sama juga seharusnya sudah sembuh seiring berjalannya kereta meninggalkan stasiun.

Rani memejamkan mata, berharap jika dalam mimpi sekalipun ia bisa melepaskan bayang-bayang Rega. Pria itu sudah beristri, dan Rani tidak akan merusak amanah seumur hidup itu dengan kemunculannya didepan Rega lagi.

Rega & Rani ( Book - 2) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang