Chapter (10)

207 27 5
                                    

Pada persimpangan jalan, selalu ada lanjutan untuk kita menempuh arah mana yang harus dipilih. Ketika waktu masih tidak mempertemukan kita kembali di jalur yang sama, semoga nanti kita mendapatkan arah yang sejalan demi mengikis jarak luas ini.

Dua insan yang sama-sama turun dari kereta itu mengambil jalan mereka masing-masing, seperti yang sudah seharusnya terjadi. Tak perlu bertemu apalagi saling mengetahui keberadaan yang lainnya, Rani melangkah kearah yang sudah ia pilih begitupun sosok laki-laki yang berjalan menjauh itu. Stasiun yang ramai tak mampu membuat mereka memperdulikan keadaan sekitar, sehingga saat lambaian tangan milik adik Rani terlihat gadis itu langsung mendekat.

"Cece!"

Rani datang memeluk adiknya, senang bisa kembali kerumah setelah menghabiskan waktu bersama para sahabat kini dia bisa berada ditempat yang seharusnya.

"Mama gak ikut?" Tanya Rani saat mereka sudah duduk diatas motor, gadis itu membiarkan adiknya memeluk tas lalu memakai helm.

"Kalo nanya itu yang masuk akal aja ya ce, kita naik motor bukan mobil. Mama disuruh duduk dimana? Bonceng tiga gitu, kayak cabe-cabe setan tengah malem". Rani tertawa lantang, rindu sekali berkeliling Surabaya memakai motor. Biasanya di Jakarta kakak-beradik itu selalu jalan sore untuk menghabiskan waktu, tapi semua berubah setelah mereka mengalami kejadian yang tak mengenakkan.

Disini, mereka memulai hidup baru dan juga cerita baru tanpa adanya orang asing yang mencoba masuk kedalam lingkungan keluarga.

"Nanti kita beli mobil deh, janji kalian harus lulus kuliah dulu ya".

"Beneran ya? Nanti aku lulus cumlaude, pokoknya beliin hadiah. Gak perlu mobil juga, yang penting cece ikhlas kasih aja". Rani menjawab setuju, begini saja sudah bisa membuat dirinya senang.

Hidup damai tanpa gangguan, di cintai banyak orang menjadikan Rani paham apa itu arti berterima kasih. Rasa syukur yang tak akan pernah habis, memberikannya sebuah pelajaran berharga bahwa tak selamanya sulit itu menjadi kendala.

Masih berada di stasiun, Rega mendengarkan perkataan orangnya menjelaskan apa saja kekacauan yang telah terjadi akibat tangan nakal yang sudah berani korupsi biaya pembangunan sekaligus gaji para pekerja. Lelaki itu sudah siap meledak saat ini juga, tapi beruntung keramaian disini mampu menyadarkannya.

"Apa bukti semuanya sudah ada? Saya tidak akan memberikan ampun pada siapapun yang berani mengacaukan pekerjaan ini".

Dua orang itu mengangguk mantap, mereka melakukannya dengan cepat karena tahu jika dua atasan mereka adalah singa ganas yang mengerikan. Jika Ari masih bisa mentoleransi kesalahan seperti ini dengan meminta ganti rugi saja misalnya, maka Rega tak segan-segan membabat habis orang yang salah tanpa diskusi apapun.

"Kita hanya perlu eksekusi pak, setelah itu kembali fokus melanjutkan pembangunan". Rega menatap lurus jalanan didepannya, saat ini mereka sudah berada didalam mobil menuju kantor cabang disini.

Surabaya terkenal dengan sebutan kota pahlawan, dia juga termasuk kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Itulah mengapa Ari memilih kota ini sebagai tempat pembangunan pabrik, demi mengurangi tingkat pengangguran, juga membantu warga di beberapa desa kecil untuk mendapatkan pekerjaan layak. Meski harus banyak menanggung resiko kerugian, konsekuensi atas pekerjaan sudah menjadi tanggung jawab mereka. Hal sekecil apapun harus dipehitungkan jika ingin tak ada kesalahan.

Setelah puas membahas pekerjaan, kini Rega membiarkan keadaan didalam mobil menjadi senyap. Entah kenapa ia sangat tertarik untuk melihat keluar jendela. Suasana disini tak berbeda jauh dengan ibukota, tapi tetap saja ada sesuatu yang membuatnya nyaman saat menginjakkan kaki disini. Mungkin ini terjadi faktor dia yang masih kekurangan tidur, apalagi sebelum berangkat Rega menyempatkan diri memenuhi hasrat biologis bersama sang istri. Suasana hatinya selalu baik jika sudah bercinta, seakan energi yang hampir habis kini terisi penuh lagi.

Mereka berhenti di lampu merah, pria itu masih melihat keluar. Tak lama kemudian dua wanita dengan motor mereka berhenti tepat disebelah kendaraan lelaki itu, Rega melihat mereka tertawa. Sesekali gadis dibelakang mencubit tangan orang didepannya kemudian tertawa lagi, ia tak bisa melihat wajahnya karena memakai helm. Lama ia termenung memperhatikan dua gadis itu, sampai lampu berwarna hijau dan mereka pun bergerak. Rega penasaran apa yang diceritakan oleh kedua orang itu sampai terbahak-bahak, dia menurunkan sedikit kaca jendela demi mendengarnya. Konyol tapi dia sangat tertarik, ketika salah satu dari mereka menoleh secara tak sengaja kearah Rega. Pria itu tertegun, dan diwaktu yang sama juga kendaraan miliknya berbelok ke kanan sedangkan dua gadis itu tetap melurus.

"Raquel?" Bisikknya pelan, gadis itu, dia tidak mungkin salah.

"Anda mengatakan sesuatu pak?" Pria disampingnya menegur membuat Rega mengalihkan pandangan.

"Tidak."

"Anda ingin berhenti dulu untuk sarapan, kami bisa menunggu jika anda ingin?" Sekali lagi Rega menggeleng, dia tidak butuh itu. Karena isi kepalanya saat ini tertuju pada gadis bernama Raquel Haina, adik ketiga Rani yang baru saja dia lihat.

Begitu banyak hal yang bersarang dikepala lelaki itu sekarang, soal kemunculan Rani dan kejadian kemarin ketika ia mengantarkan gadis itu ke hotel. Kalau dia tidak salah, berarti memang benar gadis itu sudah tidak lagi tinggal dirumah mereka yang lama. Bukankah dia sendiri juga tahu kalau tetangga lama Rani mengatakan rumah tersebut sudah dijual.

Raquel disini, Rani di Jakarta. Apa itu masuk akal?
Lalu dimana keluarga lainnya, semua pemikiran itu tidak berhenti sampai disana hingga satu lagi timbul yang lebih logis.

Kecuali memang kedatangan Rani ke Jakarta hanya untuk bertemu Susi, dan sebenarnya gadis itu menetap disini.

Jadi selama ini mereka masih berada dilingkungan yang sama?
Fakta ini membuat Rega merasa marah, lagi-lagi kebodohannya membuat pria itu mengepalkan tangan hingga memutih. Bagaimana bisa Tuhan mempermainkannya sekejam ini?

Lalu siapa saja orang-orang disekitarnya yang tahu tentang keberadaan Rani, apa mami juga tahu? Karena kemarin saat gadis itu pergi dari rumah, ibunya paling sedih dan khawatir. Dia merasa dikhianati sekarang, brengsek!

Rega mengeraskan hatinya untuk tak lagi memikirkan tentang Rani, meski dia begitu mencintai perempuan itu namun tetap saja pernikahannya bersama Aisyah sudah sangat lama dibina.

Sial

Semakin dia ingin melupakan berbagai macam alasan kenapa Raquel bisa disini, semakin kepala Rega berdenyut sakit.

"Cari jalan tercepat untuk sampai ke kantor, sepertinya ada yang menunggu untuk diselesaikan".

Mereka pikir ketika Rega mengatakan hal itu, urusan pekerjaan adalah yang utama. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, lelaki itu sedang mencari pelampiasan untuk mengeluarkan amarahnya.

Selama ini Rani tinggal di Surabaya, dan sudah ratusan kali dia mendatangi kota tua ini tanpa mengetahui hal itu. Dia masih sangat mencintai wanita itu, sialan Rani!
Kalau Rega sadar, ini bukan lagi kerja manusia melainkan Tuhan sendiri yang mengatur jalan cerita mereka.

Bukankah ujian itu akan terus datang diwaktu yang tak terduga?

Kita lihat seberapa besar keinginan mereka untuk melewati ujian ini, dengan kesempitan hati dan pikiran, cobaan ini akan sangat susah. Hanya ada satu jalannya, mengenal hati masing-masing. Kemudian akan kau temukan jawaban yang selama ini dicari.

Rega & Rani ( Book - 2) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang