Chapter (71)

208 23 18
                                    

Hidup bersama orang yang memahami kita adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang telah memberikan pendamping hidup terbaik, dimana tidak semua orang bisa merasakan dan mendapatkan nya.

Mereka kembali kerumah, disambut oleh semua orang dengan pesta kejutan kecil untuk merayakan kebahagiaan. Hanya ada anggota keluarga saja, memberikan waktu untuk sekumpulan orang-orang ini merasakan betapa indahnya hidup rukun tanpa ada bibit masalah lagi yang baru. Rani terharu, dia memeluk adik-adiknya kemudian mertua juga Susi dan orang tua nya.
Semua ini tidak akan pernah dia dapatkan jika waktu itu menuruti ego agar menjauh dari Rega, tapi yang terjadi mereka justru nekad melakukan hal tidak terpikirkan sebelumnya.

Dari awal kisah sampai hari ini, Rega selalu mencintai satu perempuan dalam hidupnya, kuatnya doa Rani dibalut cinta akhirnya mampu menembus badai dan menyelamatkan keduanya dari perbuatan dosa. Arus kehidupan yang penuh drama dan juga tidak sedikit air mata yang tumpah, jerit kesakitan jiwa-jiwa yang malang.

Rega memberikannya semua paket lengkap keluarga yang utuh, dari dulu ia menginginkan seorang kakak yang bisa menjaga mereka. Ari adalah gambaran kakak yang sempurna bagi Rani dan tiga adiknya, begitu pun Susi yang memiliki hati seputih awan dilangit.
Rendra dan Regina yang senantiasa merawat hubungan kekeluargaan menjadi semakin erat.

"Ya ampun, udah lama banget gak ketemu mak sama bapak". Ujar Rani ketika memeluk Lastri, menyalami Sulaiman ayah Susi penuh rasa hormat dan sayang.

"Kamu nya pergi gak pamit dulu sama mak, kan jadi lama gak ketemu nya".

Semua tertawa, Rani tersipu tapi ia enggan menjauh dari Lastri. Sosok ibu yang sangat dikagumi oleh Susi, dan juga ayah yang hebat bagi putri kecilnya. Diam-diam keperihan rindu menyapa Rani dalam tawa yang menggema.

Aku bahagia pah mah, semoga kalian juga ikut bahagia ngelihat kami semua disini. Terima kasih ya sudah mendoakan kebahagiaan aku.

Rachel, Achazia, Altar.

Sekarang mereka bertiga adalah tanggung jawabnya dan Rega, begitu pula soal rumah tangga yang sudah mulai kelihatan jalannya.

Menjadi dewasa melalui rasa sakit sangatlah tidak enak, tapi dia mengajarkan kita arti kesabaran dan kebaikan yang sesungguhnya. Di dewasakan oleh akal yang terus bermain dan menginginkan kesempurnaan, itu tidak akan sebaik kelihatan nya.

Semuanya menikmati makan malam, menghabiskan sisa hari dengan penuh canda tawa.
Kebahagiaan yang sudah lama dinantikan kini mulai dirasakan.

Rega mengeluarkan ponselnya dari saku celana, melihat nama Aisyah yang memanggil. Bangkit mencari tempat sepi untuk menerima panggilan.
Rani hanya menatap kepergian suaminya tanpa merasa curiga, sudah bukan waktu nya lagi untuk cemburu pada hal sepele yang hanya mengundang perdebatan. Ia percaya pada suaminya dan itu mutlak sampai kapan pun. Kembali dari menjawab telpon, Rega mengajak Rani untuk bicara berdua dikamar.

"Kenapa? Ngomong aja gak apa-apa."

Rega terlihat tenang meski dimatanya tersirat bersalah dan tidak enak hati.

"Aisyah ngajak kamu ketemuan, besok siang di kafe dekat butik. Ada hal yang seharusnya sejak dulu kalian selesaikan berdua". Rani terdiam merenung.

"Sayang, aku gak maksa kalo memang kamu gak mau. Nanti aku bilang sama Aisyah kalo kamu sibuk".

"Jangan, besok siang jam berapa?"

Lama ia memandang wajah Rani, entah dia memang bersalah atau merasa kagum pada istri sendiri.

"Jam dua belas, aku temenin kamu ya?"

Perempuan itu menggeleng, ini mungkin bukan masalah serius tapi sebagai sesama wanita mereka perlu bicara empat mata. Menyelesaikan sakit hati dan dendam karena semua itu sudah berlalu, sekarang hanyalah memikirkan bagaimana caranya untuk menjalani masa depan tanpa melibatkan satu sama lain lagi.

Rega & Rani ( Book - 2) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang