"Seakan ada cakar yang merobek jantung, aku termenung; sudahkah detak ini melaju untuk seseorang yang tepat atau bernapas untuk alasan yang akurat. Aku terbelenggu masa lalu, terkurung, dan tak mampu menjelajahi masa depan tanpamu."
___________________Angin musim gugur terasa semakin dingin, Praha tetap ramai, tetapi sebagian tempat cukup lengang. Xiao Zhan tidak pernah datang ke sekolah, sudah seminggu setelah kembali dari rumah sakit, ia mengurung diri di flatnya, tidak ada gairah, tidak ada keinginan untuk keluar rumah. Pemuda manis itu bahkan mengabaikan pesan yang dikirimkan Lusi ke ponselnya yang mana memberitahu bahwa Yibo selalu datang untuk belajar, berlatih sendirian di dalam kelas, dan kembali pulang setelah menunggu cukup lama.
Bagi Xiao Zhan, sebuah penolakan sama saja sebuah akhir, terlalu menyakitkan walaupun dirinya sering merasakan itu. Namun, penolakan yang Arthur lakukan sangat berbeda, begitu perih hingga air mata bahkan tak bisa dijadikan sebagai pelampiasan rasa sakitnya. Xiao Zhan menertawai dirinya, begitu percaya diri selama tiga tahun belakangan, percaya bahwa ia akan hidup dengan baik bersama muridnya itu. Namun, ucapan Arthur begitu menohok jantung hingga ia kesulitan menarik napas, terlalu sesak, terlalu pilu hingga ia seakan mati rasa.
Ketika meninggalkan Yibo di podium pernikahan, Xiao Zhan merasa perasaan hancurnya cukup sepadan. Ia sakit ketika Yibo menuduhnya pergi dan membuat pria itu kecewa dan ia sakit karena Arthur memilih untuk menyerah di saat ia sedang berusaha untuk meraihnya. Xiao Zhan benar-benar percaya bahwa karma memang ada di dunia yang ia jejaki.
Pemuda manis itu menatap kamarnya, dinding berwarna putih itu dipasangi poster milik Arthur. Potret sang murid memenuhi pandangannya, cukup indah untuk dipandang, tetapi cukup menyakitkan jika mengingat kejadian di rumah sakit. Xiao Zhan mengepalkan kedua tangannya, ia ingin segera melupakan kejadian itu dengan segera, beranjak ke masa depan yang harusnya lebih baik. Pada akhirnya, pagi menjelang siang, pemuda itu bangkit, berjalan menuju lemari, merapikan rambutnya dan mengambil mantel soft brown dari dalam sana.
Xiao Zhan mengambil ponsel dari atas tempat tidur, beranjak dari flatnya dan berjalan menuju sekolah. Ia tahu, hari-hari yang berat akan menyambutnya, tetapi apa pun itu harus ia hadapi. Ia akan bertemu dengan Yibo, bersikap profesional sebagai guru dan menyelesaikan waktu belajar 3 bulan, ia akan membuat keputusan di akhir, memilih sang mantan, berjuang untuk Arthur, atau menyerah dengan kedua pemuda itu.
📖📖📖
Chen’s Art and Acting School adalah tujuan Xiao Zhan. Pemuda itu memasuki sekolah dengan langkah kian pasti, melewati lobi sambil menyapa Lusi, dan menuju kelasnya. Ketika kaki jenjangnya mencapai ambang pintu kelas yang terbuka, ia bersedekap dan bersandar pada sisi pintu, kedua mata indahnya memandang sosok sang mantan yang Lusi bilang sangat giat berlatih selama seminggu terakhir walaupun tanpa bimbingan sang guru.
Senyuman kecil terpatri di wajah Xiao Zhan ketika melihat Yibo membanting naskah ke lantai. Pemuda tampan yang mengenakan t-shirt panjang dan celana hitam itu, menatap cermin besar dengan serius, berdiri tegap dengan kedua tangan di sisi paha, lalu berkata dengan intonasi yang dalam dan stabil, “Perang sudah dimulai, rakyatku berjatuhan, bagaimana bisa aku hanya diam menikmati segarnya secangkir anggur di istana? Kalian semua jangan sebut aku Pangeran jika aku abai akan penderitaan dan jeritan rakyatku. Aku akan maju, meninggalkan istana dan kereta, biarkan aku menunggangi kuda, dan menghanguskan bumi lawan bersama kalian!”
Yibo terdiam, ia kemudian mengerjap dan menoleh ke belakang. Matanya terbeliak ketika menyadari sosok gurunya di ambang pintu yang sedari tadi menyaksikan aktingnya. Ia tersenyum, lalu berkata agak canggung, “Xiao … Laoshi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Desperated Soul
Fanfiction||🥇Masuk Reading List @WattpadFanficID Edisi Maret 2022 sebagai 2 Cerita Terbaik || For you my everlasting love .... The world never be ours, but my world always be yours. I'll be happy to be yours and you always be mine, then we always be us .... ...